Jual Beli Kredit (sell or buy on credit/installment) dalam bahasa Arabnya disebut Bai’ bit Taqsith yang pengertiannya menurut istilah syari’ah, ialah menjual sesuatu dengan pembayaran yang diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu tertentu, dan lebih mahal daripada pembayaran kontan/tunai. (Syarah Majalah al-Ahkam, no 157, vol III/110, Majallah asy-Syari’ah wad Dirasah Al-Islamiyah, Fak Syari’ah, Kuwait University, edisi VII, Sya’ban 1407, hal. 140, Al-Maurid, hal. 354, Lisanul ‘Arab, vol VII/377-378)
Jumhur ulama membolehkan praktik jual beli kredit (bai’ bit Taqsith) tanpa bunga, diantaranya adalah Imam Al-Khathabi dalam Syarh Mukhtashar Khalil (IV/375), Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Fatawa (XXIX/498-500), Imam Syaukani dalam Nailul Authar (V/249-250), Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni dengan menukil pendapat Thawus, Hakam dan Hammad yang membolehkannya (IV/259).
Demikian pula ulama mutakhirin seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dalam majalah al-Iqtishad al-Islami, I/42 no. 11 th. 1402H dimana beliau mengatakan: “Saya pernah ditanya tentang hukum jual-beli sekarung gula pasir dan sebagainya, yang dicicil sampai pada waktu yang telah ditentukan dengan ketentuan harga yang lebih tinggi daripada kontan. Maka saya jawab, mu’amalah ini sah. Sebab jual-beli kontan berbeda dengan jual-beli kredit, sementara seluruh umat Islam mengamalkan mu’amalah ini.
Jadi, mereka telah sepakat atas bolehnya jual-beli ini.” Syekh Abdul Wahhab Khallaf seperti dimuat dalam majalah Liwa’ul Islam, no. 11 hlm. 122 juga memandangnya halal.
Fatwa Muktamar pertama al-Mashraf al-Islami di Dubai yang dihadiri oleh 59 ulama internasional, fatwa Direktorat Jenderal Riset, Dakwah dan Ifta’ serta Komisi Fatwa Kementrian Waqaf dan Urusan Agama Islam Kuwait semua sepakat bahwa tidak ada larangan bagi penjual menentukan harga secara kredit lebih tinggi daipada ketentuan harga kontan. Penjual boleh saja mengambil keuntungan dari penjualan secara kredit dengan ketentuan dan perhitungan yang jelas. (Majalah asy-Syari’ah Kuwait, Rajab 1414, hlm.264, Majalah al-Iqtishad al-Islami, I/3 th 1402, hlm. 35, Majalah al-Buhuts al-Islamiyah, no. 6 Rabi’ Tsani, 1403H, hlm.270)
Dalil syari’ah dalam membolehkan akad jual-beli kredit (bai’ bit taqsith) diambil dari dalil-dalil al-Qur’an yang menghalalkan praktik bai’ (jual-beli) secara umum, diantaranya firman Allah: “Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (al-Baqarah:275) “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (al-Baqarah:282)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (QS. An-Nisa’:29)
Namun para ulama ketika membolehkan jual-beli secara kredit dengan ketentuan selama pihak penjual dan pembeli mengikuti kaidah dan syarat-syarat keabsahannya sebagai berikut:
1. Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual dan pembeli.
2. Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari parktik bai’ gharar, ‘bisnis penipuan’.
3. Harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh dinaikkan lantaran pelunasannya melebihi waktu yang ditentukan, karena dapat jatuh pada praktik riba.
4. Seorang penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pembeli dengan cara menaikkan harga terlalu tinggi melebihi harga pasar yang berlaku, agar tidak termasuk kategori bai’ muththarr, ‘jual-beli dengan terpaksa’ yang dikecam Nabi saw.
Menganai pertanyaan tentang jual-beli mobil secara kredit yang banyak dilakukan orang dengan bunga tertentu, fatwa direktorat jenderal riset, dakwah dan ifta’ menjelaskan bahwa jika dalam jual-beli kredit terdapat kenaikan harga (bunga) lantaran terlambatnya pelunasan dari pihak pembeli, maka menurut ijma’ ulama tidak sah, karena di dalamnya terkandung unsur riba jahiliyah yang diharamkan Islam. (Majalah al-Buhuts al-islamiyah, no. 6 Th. 1403, hlm 270)
Kalaupun terpaksa harus membeli secara kredit dari penjual barang yang memberlakukan sistem bunga ini, maka pembeli realitasnya harus yakin mampu mencicil dan melunasinya tepat waktu tanpa harus terjerat pembayaran bunga tunggakan, agar terhindar dari laknat rasulullah karena membayar uang riba.
Kartu kredit pada hakekatnya sebagai sarana mempermudah proses jual-beli yang tidak tergantung kepada pembayaran kontan dengan membawa uang tunai yang sangat riskan. Status hukumnya menurut fiqih kontemporer adalah sebagai objek atau media jasa kafalah (jaminan). Perusahaan perbankan dalam hal ini yang mengeluarkan kartu kredit (bukti kafalah) sebagai penjamin (kafil) bagi pengguna kartu kredit tersebut dalam transaksi jual beli. Oleh karena itu berlaku di sini hukum masalah ‘kafalah’.
Para ulama membolehkan sistem dan praktik kafalah dalam mu’amalah berdasarkan dalil al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Allah berfirman: “dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf:72)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “za’im” dalam ayat tersebut adalah “kafil”. Sabda Nabi saw.: “az-Za’im Gharim” artinya; orang yang menjamin berarti berutang (sebab jaminan tersebut). (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Hibban). Ulama sepakat (ijma’) tentang bolehnya praktik kafalah karena lazim dibutuhkan dalam mu’amalah. (Lihat, Subulus Salam, III/62, Al-Mabsuth, XIX/160, Al-Mughni, IV/534, Mughnil Muhtaj, II/98).
Kafalah pada dasarnya adalah akad tabarru’ (suka rela) yang bernilai ibadah bagi penjamin karena termasuk kerjasama dalam kebajikan (ta’awun ‘alal birri), dan penjamin berhak meminta gantinya kembali kepada terutang, sepantasnyalah ia tidak meminta upah atas jasanya tersebut, agar aman/jauh dari syubhat. Tetpi kalau terutang sendiri yang memberinya sebagai hadiah atau hibah untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya, maka sah sah saja.
Tetapi jika penjamin sendiri yang mensyaratkan imbalan jasa (semacam uang iuran administrasi kartu kredit dan sebagainya) tersebut dan tidak mau menjamin dengan sukarela, maka dibolehkan bagi pengguna jasa jaminan memenuhi tuntutan tersebut bila diperlukan seperti kebutuhan yang lazim dalam perjalanan studi, bisnis, kegiatan sosial, urusan pribadi dan sebagainya.
Hal itu berdasarkan kaedah fiqih: “al-Hajah Tunazzal Manzilah Adz-Dzarurah” (kebutuhan dikategorikan sebagai suatu darurat). Bilamana keharusan uang jasa kafalah merupakan suatu kelaziman transaksi bisnis yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah, maka hal itu dibolehkan sesuai dengan kaedah; “Al-Ma’ruf Bainat Tujjar kal Masyruthi bainahum”; sesuatu yang lazim dikalangan bisnis merupakan suatu persyaratan yang harus ditepati. (al-Burnu, al-Wajiz, hlm. 306,242)
Tetapi bisnis jasa kartu kredit tersebut boleh selama dalam prakteknya tidak bertransaksi dengan sistem riba yaitu memberlakukan ketentuan bunga bila pelunasan hutang kepada penjamin lewat jatuh tempo pembayaran atau menunggak. Disamping itu ketentuan uang jasa kafalah tadi tidak boleh terlalu mahal sehingga memberatkan pihak terutang atau terlalu besar melebihi batas rasional, agar terjaga tujuan asal dari kafalah, yaitu jasa pertolongan berupa jaminan utang kepada merchant, penjual barang atau jasa yang menerima pembayaran dengan kartu kerdit tertentu. (Lihat, DR. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, vol. V/130-161)
Dengan demikian dibolehkan bagi umat Islam untuk menggunakan jasa kartu kredit (credit card) yang tidak memakai sistem bunga. Namun bila terpaksa atau tuntutan kebutuhan mengharuskannya menggunakan kartu kredit biasa yang memakai ketentuan bunga, maka demi kemudahan transaksi dibolehkan memakai semua kartu kredit dengan keyakinan penuh menurut kondisi finansial dan ekonominya mampu membayar utang dan komitmen untuk melunasinya tepat waktu sebelum jatuh tempo agar tidak membayar hutang.
Hal itu berdasarkan prinsip fiqih ‘Saddudz Dzari’ah’, artinya sikap dan tindakan prefentif untuk mencegah dari perbuatan dosa. Sebab, hukum pemakan dan pemberi uang riba adalah sama-sama haram berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud bahwa: “Rasulullah saw melaknat pemakan harta riba, pembayar riba, saksi transaksi ribawi dan penulisnya.” (HR.Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Wallau A’lam, wa billahit Taufiq wal Hidayah.
Jumat, 14 Januari 2011
Kamis, 13 Januari 2011
Jama' Sholat Jumat dengan Ashar bagi musafir
Segala puji bagi Allah shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad beserta keluarganya dan para shahabatnya dan yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Amma ba’du:
Para pembaca yang dirahmati Allah Ta’alaa:
Permasalahan ini telah diperselisihkan oleh para ulama sejak zaman dahulu dimana mereka terbagi menjadi dua kelompok.
Pertama: Sebagian membolehkannya yaitu pendapat ulama Syafi’iyyah dan dishahihkan oleh Imam As-Suyuti dan dipegang oleh Imam Az-Zarkasyi dan difatwakan oleh Al-Ramli.
Dalilnya adalah mengqiyaskan shalat Jum’at dengan Zhuhur, karena shalat Jum’at adalah shalat Zhuhur yang dipendekkan yang mengganti tempat shalat Zhuhur bukan shalat yang independent seperti Subuh dan pendapat ini kuat sekali, terutama jika diketahui bahwa perkataan Umar radhiallahu ‘anhu: “ shalat Jum’at adalah sempurna bukan qashar dari Zhuhur menurut lisan Nabi kalian Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam” bukan riwayat yang shahih dari Umar karena sanadnya terputus antara Ibnu Abi Laila dan Umar, adapun yang menyebutkan bahwa diantara mereka ada Ka’ab bin ‘Ajrah maka dia keliru.
Adapun yang shalat Jum’atnya dengan niat Zhuhur karena musafir maka tidak ragu lagi dia boleh menyambungnya dengan Ashar.
Imam Nawawi rahimahullah berkata:
Permasalahan: boleh menjamak antara shalat Jum’at dan Ashar karena hujan seperti disebutkan Ibnu Kajj dan penulis Al-Bayan dan lainnya, jadi jika shalat Ashar dimajukan ke waktu Jum’at disyaratkan adanya hujan pada pembukaan dua shalat dan pada salam shalat Jum’at sebagaimana lainnya, dan penulis kitab Al-Bayan: tidak disyaratkan adanya hujan dalam dua khutbah karena keduanya bukan dari shalat tetapi merupakan salah satu syarat shalat Jum’at namun tidak disyaratkan hujan pada keduanya sebagaimana tidak disyaratkan dalam thaharah.
(Lihat: Al-Majmu oleh Imam An-Nawawi: 4/320-321) dan (Raudhatul Talibin: 1/400).
Berkata Taqiyudin Muhammad Al-Husaini As-Syafiie Ad-Dimasyqi: “sebagaimana boleh menjamak antara Zhuhur dan Ashar boleh menjamak antara Jum’at dan Ashar kemudian apabila menjamak taqdim maka disyaratkan dalam hal itu apa yang disyaratkan dalam jamak karena safar dan disyaratkan kepastian adanya hujan pada shalat Jum’at dan awal shalat Ashar demikian juga disyaratkan adanya hujan ketika salam dari shalat pertama menurut pendapat shahih yang diputuskan para ulama Irak,.(Lihat Kifayatul Akhyar hal: 140).
Demikian juga Sheikh Ibnu Jibrin rahimahullah berfatwa bolehnya menjamak antara shalat Jum’at dengan Ashar bagi musafir meskipun mayoritas ulama Hijaz melarangnya.
Kedua: Adapun jumhur ulama tidak membolehkannya yaitu pendapat ulama Hambali dan satu pendapat dari Syafi’iyyah.
Dalilnya adalah bahwa menjamak Ashar dengan Jum’at tidak ada riwayat yang membolehkannya dalam syariat dan itu termasuk ibadah dan ibadah asalnya tauqifi dan tidak boleh ditetapkan dengan kias.
Sheikh Utsaimin rahimahullah berkata dalam syarah kitab Al-Mumti’ ‘alaa Zadil Mustaqni’ ketika menyebutkan syarat-syarat jamak antara dua shalat: (padanya ada syarat kelima: yaitu shalatnya bukan shalat Jum’at, karena itu tidak sah untuk dijamakkan dengan Ashar, karena shalat Jum’at adalah shalat yang berdiri sendiri dalam syarat-syaratnya, bentuknya, rukun-rukunnya, dan juga pahalanya, dan sunah hanya menerangkan tentang jamak antara shalat Zhuhur dengan Ashar, dan sama sekali tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau menjamak Ashar dengan Jum’at, maka tidak sah Jum’at diqiyaskan dengan Zhuhur karena perbedaan yang ada pada keduanya, bahkan dalam hal waktu menurut pendapat yang masyhur dari mazhab Hanbali karena waktunya dari meningginya matahari setinggi tombak sampai Ashar, sedangkan Zhuhur dari tergelincirnya matahari sampai Ashar juga Jum’at tidak sah kecuali dalam waktunya, seandainya telah keluar waktunya maka dikerjakan sholat Zhuhur, dan Zhuhur sah dikerjakan pada waktunya atau sesudahnya karena uzur.
Dan syarat ini diambil dari perkataan pengarang: “boleh menjamak antara dua Zhuhur”, maksudnya adalah Zhuhur dan Ashar sehingga tidak termasuk disitu Jum’at dan Ashar.
Seandainya ada yang berkata: saya ingin shalat Jum’at dengan niat Zhuhur karena saya musafir dan shalat Zhuhur bagi saya dua rakaat yakni seperti Jum’at?
Maka kami katakan: niat ini tidak sah menurut pendapat yang mengatakan: disyaratkan persamaan niat imam dan makmum, karena mereka tidak mengecualikan dari permasalahan ini kecuali yang mendapati Jum’at kurang dari satu rakaat maka dia masuk bersama imam dengan niat Zhuhur karena Jum’at uzur atasnya, adapun ini mungkin dikarenakan tidak sah untuk meniatkan Zhuhur dibelakang imam yang shalat Jum’at, pendapat ini jelas yakni tidak sah meniatkan Zhuhur dalam Jum’at.
Adapun pendapat yang kuat: bahwa perbedaan niat imam dan makmum tidak bermasalah maka yang demikian sah, namun kami katakan: jangan kamu meniatkannya Zhuhur, karena kalau demikian berarti kamu telah mengharamkan atas dirimu pahala Jum’at dengan tujuan jamak, masalahnya mudah: tinggalkan Ashar hingga masuk waktunya kemudian shalatlah.
Kesimpulan:
Pada dasarnya boleh menjamak antara dua shalat yang tergabung waktunya, termasuk Jum’at dengan Ashar, apalagi dengan adanya kesulitan safar tentu lebih utama untuk diperbolehkan, karena tidak ada bedanya antara kesulitan safar dalam shalat Jum’at dan Ashar.
Apalagi setelah perkataan Umar radhiallahu ‘anhu tidak terbukti keshahihannya, jadi Jum’at adalah qashar dari Zhuhur.
Namun alangkah baiknya kalau seseorang dalam keadaan singgah disatu tempat untuk melaksanakan shalat bersama imam dengan niat Jum’at karena pahala yang begitu banyak, lalu shalat Ashar pada waktunya.
Jika itu memberatkan dia boleh shalat bersama imam dengan niat Zhuhur diqashar karena menurut pendapat yang shahih tidak harus sama niat imam dan makmum, lalu melanjutkannya dengan shalat Ashar jamak taqdim untuk keluar dari khilaf ulama yang melarang menjamak Jum’at dengan Ashar. Wallahu A’lam bishawab.
Para pembaca yang dirahmati Allah Ta’alaa:
Permasalahan ini telah diperselisihkan oleh para ulama sejak zaman dahulu dimana mereka terbagi menjadi dua kelompok.
Pertama: Sebagian membolehkannya yaitu pendapat ulama Syafi’iyyah dan dishahihkan oleh Imam As-Suyuti dan dipegang oleh Imam Az-Zarkasyi dan difatwakan oleh Al-Ramli.
Dalilnya adalah mengqiyaskan shalat Jum’at dengan Zhuhur, karena shalat Jum’at adalah shalat Zhuhur yang dipendekkan yang mengganti tempat shalat Zhuhur bukan shalat yang independent seperti Subuh dan pendapat ini kuat sekali, terutama jika diketahui bahwa perkataan Umar radhiallahu ‘anhu: “ shalat Jum’at adalah sempurna bukan qashar dari Zhuhur menurut lisan Nabi kalian Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam” bukan riwayat yang shahih dari Umar karena sanadnya terputus antara Ibnu Abi Laila dan Umar, adapun yang menyebutkan bahwa diantara mereka ada Ka’ab bin ‘Ajrah maka dia keliru.
Adapun yang shalat Jum’atnya dengan niat Zhuhur karena musafir maka tidak ragu lagi dia boleh menyambungnya dengan Ashar.
Imam Nawawi rahimahullah berkata:
Permasalahan: boleh menjamak antara shalat Jum’at dan Ashar karena hujan seperti disebutkan Ibnu Kajj dan penulis Al-Bayan dan lainnya, jadi jika shalat Ashar dimajukan ke waktu Jum’at disyaratkan adanya hujan pada pembukaan dua shalat dan pada salam shalat Jum’at sebagaimana lainnya, dan penulis kitab Al-Bayan: tidak disyaratkan adanya hujan dalam dua khutbah karena keduanya bukan dari shalat tetapi merupakan salah satu syarat shalat Jum’at namun tidak disyaratkan hujan pada keduanya sebagaimana tidak disyaratkan dalam thaharah.
(Lihat: Al-Majmu oleh Imam An-Nawawi: 4/320-321) dan (Raudhatul Talibin: 1/400).
Berkata Taqiyudin Muhammad Al-Husaini As-Syafiie Ad-Dimasyqi: “sebagaimana boleh menjamak antara Zhuhur dan Ashar boleh menjamak antara Jum’at dan Ashar kemudian apabila menjamak taqdim maka disyaratkan dalam hal itu apa yang disyaratkan dalam jamak karena safar dan disyaratkan kepastian adanya hujan pada shalat Jum’at dan awal shalat Ashar demikian juga disyaratkan adanya hujan ketika salam dari shalat pertama menurut pendapat shahih yang diputuskan para ulama Irak,.(Lihat Kifayatul Akhyar hal: 140).
Demikian juga Sheikh Ibnu Jibrin rahimahullah berfatwa bolehnya menjamak antara shalat Jum’at dengan Ashar bagi musafir meskipun mayoritas ulama Hijaz melarangnya.
Kedua: Adapun jumhur ulama tidak membolehkannya yaitu pendapat ulama Hambali dan satu pendapat dari Syafi’iyyah.
Dalilnya adalah bahwa menjamak Ashar dengan Jum’at tidak ada riwayat yang membolehkannya dalam syariat dan itu termasuk ibadah dan ibadah asalnya tauqifi dan tidak boleh ditetapkan dengan kias.
Sheikh Utsaimin rahimahullah berkata dalam syarah kitab Al-Mumti’ ‘alaa Zadil Mustaqni’ ketika menyebutkan syarat-syarat jamak antara dua shalat: (padanya ada syarat kelima: yaitu shalatnya bukan shalat Jum’at, karena itu tidak sah untuk dijamakkan dengan Ashar, karena shalat Jum’at adalah shalat yang berdiri sendiri dalam syarat-syaratnya, bentuknya, rukun-rukunnya, dan juga pahalanya, dan sunah hanya menerangkan tentang jamak antara shalat Zhuhur dengan Ashar, dan sama sekali tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau menjamak Ashar dengan Jum’at, maka tidak sah Jum’at diqiyaskan dengan Zhuhur karena perbedaan yang ada pada keduanya, bahkan dalam hal waktu menurut pendapat yang masyhur dari mazhab Hanbali karena waktunya dari meningginya matahari setinggi tombak sampai Ashar, sedangkan Zhuhur dari tergelincirnya matahari sampai Ashar juga Jum’at tidak sah kecuali dalam waktunya, seandainya telah keluar waktunya maka dikerjakan sholat Zhuhur, dan Zhuhur sah dikerjakan pada waktunya atau sesudahnya karena uzur.
Dan syarat ini diambil dari perkataan pengarang: “boleh menjamak antara dua Zhuhur”, maksudnya adalah Zhuhur dan Ashar sehingga tidak termasuk disitu Jum’at dan Ashar.
Seandainya ada yang berkata: saya ingin shalat Jum’at dengan niat Zhuhur karena saya musafir dan shalat Zhuhur bagi saya dua rakaat yakni seperti Jum’at?
Maka kami katakan: niat ini tidak sah menurut pendapat yang mengatakan: disyaratkan persamaan niat imam dan makmum, karena mereka tidak mengecualikan dari permasalahan ini kecuali yang mendapati Jum’at kurang dari satu rakaat maka dia masuk bersama imam dengan niat Zhuhur karena Jum’at uzur atasnya, adapun ini mungkin dikarenakan tidak sah untuk meniatkan Zhuhur dibelakang imam yang shalat Jum’at, pendapat ini jelas yakni tidak sah meniatkan Zhuhur dalam Jum’at.
Adapun pendapat yang kuat: bahwa perbedaan niat imam dan makmum tidak bermasalah maka yang demikian sah, namun kami katakan: jangan kamu meniatkannya Zhuhur, karena kalau demikian berarti kamu telah mengharamkan atas dirimu pahala Jum’at dengan tujuan jamak, masalahnya mudah: tinggalkan Ashar hingga masuk waktunya kemudian shalatlah.
Kesimpulan:
Pada dasarnya boleh menjamak antara dua shalat yang tergabung waktunya, termasuk Jum’at dengan Ashar, apalagi dengan adanya kesulitan safar tentu lebih utama untuk diperbolehkan, karena tidak ada bedanya antara kesulitan safar dalam shalat Jum’at dan Ashar.
Apalagi setelah perkataan Umar radhiallahu ‘anhu tidak terbukti keshahihannya, jadi Jum’at adalah qashar dari Zhuhur.
Namun alangkah baiknya kalau seseorang dalam keadaan singgah disatu tempat untuk melaksanakan shalat bersama imam dengan niat Jum’at karena pahala yang begitu banyak, lalu shalat Ashar pada waktunya.
Jika itu memberatkan dia boleh shalat bersama imam dengan niat Zhuhur diqashar karena menurut pendapat yang shahih tidak harus sama niat imam dan makmum, lalu melanjutkannya dengan shalat Ashar jamak taqdim untuk keluar dari khilaf ulama yang melarang menjamak Jum’at dengan Ashar. Wallahu A’lam bishawab.
Praktek kerja santri XI SMK
Hari- hari ini disibukkan dengan keberangkatan anak-anakku yang menjadi peserta PKL ( Praktek kerja LApangan) atau PRAKERIN (Praktek KErja Industri ) plus penjemputan pula, sekedar info saja, sebagai wakil Kepala Sekolah Menengah Kejuruan Assalaam, ana diberi amanat menjadi panitia kegiatan prakerin, alhamdulillah hanya 22 anak yang mendapat kesempatan prakerin tahun ini, tidak terlalu memberatkan dibanding tahun lalu 2010 yang berjumlah 42 siswa, setelah mempersiapkan selama kurang lebih 4 bulan dimulai dari bulan september hingga desember 2010 akhirnya hari senin 10 januari 2011 anak-anak diberangkatkan ke 9 instansi yang menjadi tempat mereka praktek.
Masih banyak kendala yang ditemukan terkait dengan keberangkatan dan kepulangan, kalo dihari pertama lancar karena koordinasi yang sudah sesuai namun dihari kedua sangat disayangkan karena 4 siswa yang menjadi peserta prakerin di FKIP UNS harus pulang tanpa jemputan disebabkan miscomunikasi, yang seharusnya mereka menunggu di Gedung A, namun ternyata mereka menunggu di gedung C yang berjarak kurang lebih 300an meter, dengan alasan bahwa pembimbing pada keberangkatan meminta seperti itu, namun tampaknya pembimbng keberangkatan belum berkoordinasi dengan pembimbing penjemputan hingga terjadi hal-hal yang demikian, mengingat ana membedakan antara petugas pengantar dan penjemput.Namun alhamdullillah di hari selanjutnya tidak terulangi lagi.
Adapun 9 tempat ( DUDI/ Dunia Usaha dan Dunia Industri ) yang menjadi tempat Prakerin 2011 adalah sebagai berikut :
1. FKIP UNS sebanyak 4 siswa
2. STMIK Sinar Nusantara 2 siswa
3. Risc Computer 2 siswa
4. Plasa Computer 2 siswa
5. Star Computer 2 siswa
6. Delta Computer 2 siswa
7. BSS Telkomsel 2 siswa
8. Elfi Computer 2 siswa
9. Lab Assalaam 2 siswa
Prakerin dilaksanakan dengan menyesuaikan jam kerja instansi, namun jika melebihi jam 5 sore maka pihak sekolah telah meminta untuk dijemput dengan alasan mereka akan mengikuti kegiatan kesantrian.
Dari kedelapan DUDI tersebut diatas semuanya menggunakan hari libur Ahad, adapun yang satu hari jumat yaitu Lab Assalaam, karena berada di komplek Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam yang meresmikan libur mereka hari Jumat.
di sepekan pertama ini masih terdengar sebagian keluh kesah siswa prakerin, namun juga ada yang merasa senang karena sering dibawa keluar melakukan perjalanan, diantara keluh kesah yang disampaikan adalah :
1. terlalu banyak pekerjaan yang berikan
2. tidak ada pekerjaan sama sekali
3. jam masuk terlalu siang
4. Penjemputan terlalu lama menunggu
5. uang saku kurang
6. seragam terlalu besar
7. belum bisa berinteraksi dengan instansinya
Sukses anak-anakku.....................
Sementara ini saja yang ana tulskan, insyaallah bersambung....
Masih banyak kendala yang ditemukan terkait dengan keberangkatan dan kepulangan, kalo dihari pertama lancar karena koordinasi yang sudah sesuai namun dihari kedua sangat disayangkan karena 4 siswa yang menjadi peserta prakerin di FKIP UNS harus pulang tanpa jemputan disebabkan miscomunikasi, yang seharusnya mereka menunggu di Gedung A, namun ternyata mereka menunggu di gedung C yang berjarak kurang lebih 300an meter, dengan alasan bahwa pembimbing pada keberangkatan meminta seperti itu, namun tampaknya pembimbng keberangkatan belum berkoordinasi dengan pembimbing penjemputan hingga terjadi hal-hal yang demikian, mengingat ana membedakan antara petugas pengantar dan penjemput.Namun alhamdullillah di hari selanjutnya tidak terulangi lagi.
Adapun 9 tempat ( DUDI/ Dunia Usaha dan Dunia Industri ) yang menjadi tempat Prakerin 2011 adalah sebagai berikut :
1. FKIP UNS sebanyak 4 siswa
2. STMIK Sinar Nusantara 2 siswa
3. Risc Computer 2 siswa
4. Plasa Computer 2 siswa
5. Star Computer 2 siswa
6. Delta Computer 2 siswa
7. BSS Telkomsel 2 siswa
8. Elfi Computer 2 siswa
9. Lab Assalaam 2 siswa
Prakerin dilaksanakan dengan menyesuaikan jam kerja instansi, namun jika melebihi jam 5 sore maka pihak sekolah telah meminta untuk dijemput dengan alasan mereka akan mengikuti kegiatan kesantrian.
Dari kedelapan DUDI tersebut diatas semuanya menggunakan hari libur Ahad, adapun yang satu hari jumat yaitu Lab Assalaam, karena berada di komplek Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam yang meresmikan libur mereka hari Jumat.
di sepekan pertama ini masih terdengar sebagian keluh kesah siswa prakerin, namun juga ada yang merasa senang karena sering dibawa keluar melakukan perjalanan, diantara keluh kesah yang disampaikan adalah :
1. terlalu banyak pekerjaan yang berikan
2. tidak ada pekerjaan sama sekali
3. jam masuk terlalu siang
4. Penjemputan terlalu lama menunggu
5. uang saku kurang
6. seragam terlalu besar
7. belum bisa berinteraksi dengan instansinya
Sukses anak-anakku.....................
Sementara ini saja yang ana tulskan, insyaallah bersambung....
Langganan:
Postingan (Atom)