Jumat, 14 Januari 2011

Hukum kredit

Jual Beli Kredit (sell or buy on credit/installment) dalam bahasa Arabnya disebut Bai’ bit Taqsith yang pengertiannya menurut istilah syari’ah, ialah menjual sesuatu dengan pembayaran yang diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu tertentu, dan lebih mahal daripada pembayaran kontan/tunai. (Syarah Majalah al-Ahkam, no 157, vol III/110, Majallah asy-Syari’ah wad Dirasah Al-Islamiyah, Fak Syari’ah, Kuwait University, edisi VII, Sya’ban 1407, hal. 140, Al-Maurid, hal. 354, Lisanul ‘Arab, vol VII/377-378)
Jumhur ulama membolehkan praktik jual beli kredit (bai’ bit Taqsith) tanpa bunga, diantaranya adalah Imam Al-Khathabi dalam Syarh Mukhtashar Khalil (IV/375), Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Fatawa (XXIX/498-500), Imam Syaukani dalam Nailul Authar (V/249-250), Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni dengan menukil pendapat Thawus, Hakam dan Hammad yang membolehkannya (IV/259).
Demikian pula ulama mutakhirin seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dalam majalah al-Iqtishad al-Islami, I/42 no. 11 th. 1402H dimana beliau mengatakan: “Saya pernah ditanya tentang hukum jual-beli sekarung gula pasir dan sebagainya, yang dicicil sampai pada waktu yang telah ditentukan dengan ketentuan harga yang lebih tinggi daripada kontan. Maka saya jawab, mu’amalah ini sah. Sebab jual-beli kontan berbeda dengan jual-beli kredit, sementara seluruh umat Islam mengamalkan mu’amalah ini.
Jadi, mereka telah sepakat atas bolehnya jual-beli ini.” Syekh Abdul Wahhab Khallaf seperti dimuat dalam majalah Liwa’ul Islam, no. 11 hlm. 122 juga memandangnya halal.
Fatwa Muktamar pertama al-Mashraf al-Islami di Dubai yang dihadiri oleh 59 ulama internasional, fatwa Direktorat Jenderal Riset, Dakwah dan Ifta’ serta Komisi Fatwa Kementrian Waqaf dan Urusan Agama Islam Kuwait semua sepakat bahwa tidak ada larangan bagi penjual menentukan harga secara kredit lebih tinggi daipada ketentuan harga kontan. Penjual boleh saja mengambil keuntungan dari penjualan secara kredit dengan ketentuan dan perhitungan yang jelas. (Majalah asy-Syari’ah Kuwait, Rajab 1414, hlm.264, Majalah al-Iqtishad al-Islami, I/3 th 1402, hlm. 35, Majalah al-Buhuts al-Islamiyah, no. 6 Rabi’ Tsani, 1403H, hlm.270)
Dalil syari’ah dalam membolehkan akad jual-beli kredit (bai’ bit taqsith) diambil dari dalil-dalil al-Qur’an yang menghalalkan praktik bai’ (jual-beli) secara umum, diantaranya firman Allah: “Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (al-Baqarah:275) “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (al-Baqarah:282)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (QS. An-Nisa’:29)
Namun para ulama ketika membolehkan jual-beli secara kredit dengan ketentuan selama pihak penjual dan pembeli mengikuti kaidah dan syarat-syarat keabsahannya sebagai berikut:
1. Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual dan pembeli.
2. Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari parktik bai’ gharar, ‘bisnis penipuan’.
3. Harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh dinaikkan lantaran pelunasannya melebihi waktu yang ditentukan, karena dapat jatuh pada praktik riba.
4. Seorang penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pembeli dengan cara menaikkan harga terlalu tinggi melebihi harga pasar yang berlaku, agar tidak termasuk kategori bai’ muththarr, ‘jual-beli dengan terpaksa’ yang dikecam Nabi saw.
Menganai pertanyaan tentang jual-beli mobil secara kredit yang banyak dilakukan orang dengan bunga tertentu, fatwa direktorat jenderal riset, dakwah dan ifta’ menjelaskan bahwa jika dalam jual-beli kredit terdapat kenaikan harga (bunga) lantaran terlambatnya pelunasan dari pihak pembeli, maka menurut ijma’ ulama tidak sah, karena di dalamnya terkandung unsur riba jahiliyah yang diharamkan Islam. (Majalah al-Buhuts al-islamiyah, no. 6 Th. 1403, hlm 270)
Kalaupun terpaksa harus membeli secara kredit dari penjual barang yang memberlakukan sistem bunga ini, maka pembeli realitasnya harus yakin mampu mencicil dan melunasinya tepat waktu tanpa harus terjerat pembayaran bunga tunggakan, agar terhindar dari laknat rasulullah karena membayar uang riba.
Kartu kredit pada hakekatnya sebagai sarana mempermudah proses jual-beli yang tidak tergantung kepada pembayaran kontan dengan membawa uang tunai yang sangat riskan. Status hukumnya menurut fiqih kontemporer adalah sebagai objek atau media jasa kafalah (jaminan). Perusahaan perbankan dalam hal ini yang mengeluarkan kartu kredit (bukti kafalah) sebagai penjamin (kafil) bagi pengguna kartu kredit tersebut dalam transaksi jual beli. Oleh karena itu berlaku di sini hukum masalah ‘kafalah’.
Para ulama membolehkan sistem dan praktik kafalah dalam mu’amalah berdasarkan dalil al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Allah berfirman: “dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf:72)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “za’im” dalam ayat tersebut adalah “kafil”. Sabda Nabi saw.: “az-Za’im Gharim” artinya; orang yang menjamin berarti berutang (sebab jaminan tersebut). (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Hibban). Ulama sepakat (ijma’) tentang bolehnya praktik kafalah karena lazim dibutuhkan dalam mu’amalah. (Lihat, Subulus Salam, III/62, Al-Mabsuth, XIX/160, Al-Mughni, IV/534, Mughnil Muhtaj, II/98).
Kafalah pada dasarnya adalah akad tabarru’ (suka rela) yang bernilai ibadah bagi penjamin karena termasuk kerjasama dalam kebajikan (ta’awun ‘alal birri), dan penjamin berhak meminta gantinya kembali kepada terutang, sepantasnyalah ia tidak meminta upah atas jasanya tersebut, agar aman/jauh dari syubhat. Tetpi kalau terutang sendiri yang memberinya sebagai hadiah atau hibah untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya, maka sah sah saja.
Tetapi jika penjamin sendiri yang mensyaratkan imbalan jasa (semacam uang iuran administrasi kartu kredit dan sebagainya) tersebut dan tidak mau menjamin dengan sukarela, maka dibolehkan bagi pengguna jasa jaminan memenuhi tuntutan tersebut bila diperlukan seperti kebutuhan yang lazim dalam perjalanan studi, bisnis, kegiatan sosial, urusan pribadi dan sebagainya.
Hal itu berdasarkan kaedah fiqih: “al-Hajah Tunazzal Manzilah Adz-Dzarurah” (kebutuhan dikategorikan sebagai suatu darurat). Bilamana keharusan uang jasa kafalah merupakan suatu kelaziman transaksi bisnis yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah, maka hal itu dibolehkan sesuai dengan kaedah; “Al-Ma’ruf Bainat Tujjar kal Masyruthi bainahum”; sesuatu yang lazim dikalangan bisnis merupakan suatu persyaratan yang harus ditepati. (al-Burnu, al-Wajiz, hlm. 306,242)
Tetapi bisnis jasa kartu kredit tersebut boleh selama dalam prakteknya tidak bertransaksi dengan sistem riba yaitu memberlakukan ketentuan bunga bila pelunasan hutang kepada penjamin lewat jatuh tempo pembayaran atau menunggak. Disamping itu ketentuan uang jasa kafalah tadi tidak boleh terlalu mahal sehingga memberatkan pihak terutang atau terlalu besar melebihi batas rasional, agar terjaga tujuan asal dari kafalah, yaitu jasa pertolongan berupa jaminan utang kepada merchant, penjual barang atau jasa yang menerima pembayaran dengan kartu kerdit tertentu. (Lihat, DR. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, vol. V/130-161)
Dengan demikian dibolehkan bagi umat Islam untuk menggunakan jasa kartu kredit (credit card) yang tidak memakai sistem bunga. Namun bila terpaksa atau tuntutan kebutuhan mengharuskannya menggunakan kartu kredit biasa yang memakai ketentuan bunga, maka demi kemudahan transaksi dibolehkan memakai semua kartu kredit dengan keyakinan penuh menurut kondisi finansial dan ekonominya mampu membayar utang dan komitmen untuk melunasinya tepat waktu sebelum jatuh tempo agar tidak membayar hutang.
Hal itu berdasarkan prinsip fiqih ‘Saddudz Dzari’ah’, artinya sikap dan tindakan prefentif untuk mencegah dari perbuatan dosa. Sebab, hukum pemakan dan pemberi uang riba adalah sama-sama haram berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud bahwa: “Rasulullah saw melaknat pemakan harta riba, pembayar riba, saksi transaksi ribawi dan penulisnya.” (HR.Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Wallau A’lam, wa billahit Taufiq wal Hidayah.

Kamis, 13 Januari 2011

Jama' Sholat Jumat dengan Ashar bagi musafir

Segala puji bagi Allah shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad beserta keluarganya dan para shahabatnya dan yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Amma ba’du:
Para pembaca yang dirahmati Allah Ta’alaa:
Permasalahan ini telah diperselisihkan oleh para ulama sejak zaman dahulu dimana mereka terbagi menjadi dua kelompok.
Pertama: Sebagian membolehkannya yaitu pendapat ulama Syafi’iyyah dan dishahihkan oleh Imam As-Suyuti dan dipegang oleh Imam Az-Zarkasyi dan difatwakan oleh Al-Ramli.
Dalilnya adalah mengqiyaskan shalat Jum’at dengan Zhuhur, karena shalat Jum’at adalah shalat Zhuhur yang dipendekkan yang mengganti tempat shalat Zhuhur bukan shalat yang independent seperti Subuh dan pendapat ini kuat sekali, terutama jika diketahui bahwa perkataan Umar radhiallahu ‘anhu: “ shalat Jum’at adalah sempurna bukan qashar dari Zhuhur menurut lisan Nabi kalian Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam” bukan riwayat yang shahih dari Umar karena sanadnya terputus antara Ibnu Abi Laila dan Umar, adapun yang menyebutkan bahwa diantara mereka ada Ka’ab bin ‘Ajrah maka dia keliru.
Adapun yang shalat Jum’atnya dengan niat Zhuhur karena musafir maka tidak ragu lagi dia boleh menyambungnya dengan Ashar.
Imam Nawawi rahimahullah berkata:
Permasalahan: boleh menjamak antara shalat Jum’at dan Ashar karena hujan seperti disebutkan Ibnu Kajj dan penulis Al-Bayan dan lainnya, jadi jika shalat Ashar dimajukan ke waktu Jum’at disyaratkan adanya hujan pada pembukaan dua shalat dan pada salam shalat Jum’at sebagaimana lainnya, dan penulis kitab Al-Bayan: tidak disyaratkan adanya hujan dalam dua khutbah karena keduanya bukan dari shalat tetapi merupakan salah satu syarat shalat Jum’at namun tidak disyaratkan hujan pada keduanya sebagaimana tidak disyaratkan dalam thaharah.
(Lihat: Al-Majmu oleh Imam An-Nawawi: 4/320-321) dan (Raudhatul Talibin: 1/400).
Berkata Taqiyudin Muhammad Al-Husaini As-Syafiie Ad-Dimasyqi: “sebagaimana boleh menjamak antara Zhuhur dan Ashar boleh menjamak antara Jum’at dan Ashar kemudian apabila menjamak taqdim maka disyaratkan dalam hal itu apa yang disyaratkan dalam jamak karena safar dan disyaratkan kepastian adanya hujan pada shalat Jum’at dan awal shalat Ashar demikian juga disyaratkan adanya hujan ketika salam dari shalat pertama menurut pendapat shahih yang diputuskan para ulama Irak,.(Lihat Kifayatul Akhyar hal: 140).
Demikian juga Sheikh Ibnu Jibrin rahimahullah berfatwa bolehnya menjamak antara shalat Jum’at dengan Ashar bagi musafir meskipun mayoritas ulama Hijaz melarangnya.
Kedua: Adapun jumhur ulama tidak membolehkannya yaitu pendapat ulama Hambali dan satu pendapat dari Syafi’iyyah.
Dalilnya adalah bahwa menjamak Ashar dengan Jum’at tidak ada riwayat yang membolehkannya dalam syariat dan itu termasuk ibadah dan ibadah asalnya tauqifi dan tidak boleh ditetapkan dengan kias.
Sheikh Utsaimin rahimahullah berkata dalam syarah kitab Al-Mumti’ ‘alaa Zadil Mustaqni’ ketika menyebutkan syarat-syarat jamak antara dua shalat: (padanya ada syarat kelima: yaitu shalatnya bukan shalat Jum’at, karena itu tidak sah untuk dijamakkan dengan Ashar, karena shalat Jum’at adalah shalat yang berdiri sendiri dalam syarat-syaratnya, bentuknya, rukun-rukunnya, dan juga pahalanya, dan sunah hanya menerangkan tentang jamak antara shalat Zhuhur dengan Ashar, dan sama sekali tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau menjamak Ashar dengan Jum’at, maka tidak sah Jum’at diqiyaskan dengan Zhuhur karena perbedaan yang ada pada keduanya, bahkan dalam hal waktu menurut pendapat yang masyhur dari mazhab Hanbali karena waktunya dari meningginya matahari setinggi tombak sampai Ashar, sedangkan Zhuhur dari tergelincirnya matahari sampai Ashar juga Jum’at tidak sah kecuali dalam waktunya, seandainya telah keluar waktunya maka dikerjakan sholat Zhuhur, dan Zhuhur sah dikerjakan pada waktunya atau sesudahnya karena uzur.
Dan syarat ini diambil dari perkataan pengarang: “boleh menjamak antara dua Zhuhur”, maksudnya adalah Zhuhur dan Ashar sehingga tidak termasuk disitu Jum’at dan Ashar.
Seandainya ada yang berkata: saya ingin shalat Jum’at dengan niat Zhuhur karena saya musafir dan shalat Zhuhur bagi saya dua rakaat yakni seperti Jum’at?
Maka kami katakan: niat ini tidak sah menurut pendapat yang mengatakan: disyaratkan persamaan niat imam dan makmum, karena mereka tidak mengecualikan dari permasalahan ini kecuali yang mendapati Jum’at kurang dari satu rakaat maka dia masuk bersama imam dengan niat Zhuhur karena Jum’at uzur atasnya, adapun ini mungkin dikarenakan tidak sah untuk meniatkan Zhuhur dibelakang imam yang shalat Jum’at, pendapat ini jelas yakni tidak sah meniatkan Zhuhur dalam Jum’at.
Adapun pendapat yang kuat: bahwa perbedaan niat imam dan makmum tidak bermasalah maka yang demikian sah, namun kami katakan: jangan kamu meniatkannya Zhuhur, karena kalau demikian berarti kamu telah mengharamkan atas dirimu pahala Jum’at dengan tujuan jamak, masalahnya mudah: tinggalkan Ashar hingga masuk waktunya kemudian shalatlah.
Kesimpulan:
Pada dasarnya boleh menjamak antara dua shalat yang tergabung waktunya, termasuk Jum’at dengan Ashar, apalagi dengan adanya kesulitan safar tentu lebih utama untuk diperbolehkan, karena tidak ada bedanya antara kesulitan safar dalam shalat Jum’at dan Ashar.
Apalagi setelah perkataan Umar radhiallahu ‘anhu tidak terbukti keshahihannya, jadi Jum’at adalah qashar dari Zhuhur.
Namun alangkah baiknya kalau seseorang dalam keadaan singgah disatu tempat untuk melaksanakan shalat bersama imam dengan niat Jum’at karena pahala yang begitu banyak, lalu shalat Ashar pada waktunya.
Jika itu memberatkan dia boleh shalat bersama imam dengan niat Zhuhur diqashar karena menurut pendapat yang shahih tidak harus sama niat imam dan makmum, lalu melanjutkannya dengan shalat Ashar jamak taqdim untuk keluar dari khilaf ulama yang melarang menjamak Jum’at dengan Ashar. Wallahu A’lam bishawab.

Praktek kerja santri XI SMK

Hari- hari ini disibukkan dengan keberangkatan anak-anakku yang menjadi peserta PKL ( Praktek kerja LApangan) atau PRAKERIN (Praktek KErja Industri ) plus penjemputan pula, sekedar info saja, sebagai wakil Kepala Sekolah Menengah Kejuruan Assalaam, ana diberi amanat menjadi panitia kegiatan prakerin, alhamdulillah hanya 22 anak yang mendapat kesempatan prakerin tahun ini, tidak terlalu memberatkan dibanding tahun lalu 2010 yang berjumlah 42 siswa, setelah mempersiapkan selama kurang lebih 4 bulan dimulai dari bulan september hingga desember 2010 akhirnya hari senin 10 januari 2011 anak-anak diberangkatkan ke 9 instansi yang menjadi tempat mereka praktek.

Masih banyak kendala yang ditemukan terkait dengan keberangkatan dan kepulangan, kalo dihari pertama lancar karena koordinasi yang sudah sesuai namun dihari kedua sangat disayangkan karena 4 siswa yang menjadi peserta prakerin di FKIP UNS harus pulang tanpa jemputan disebabkan miscomunikasi, yang seharusnya mereka menunggu di Gedung A, namun ternyata mereka menunggu di gedung C yang berjarak kurang lebih 300an meter, dengan alasan bahwa pembimbing pada keberangkatan meminta seperti itu, namun tampaknya pembimbng keberangkatan belum berkoordinasi dengan pembimbing penjemputan hingga terjadi hal-hal yang demikian, mengingat ana membedakan antara petugas pengantar dan penjemput.Namun alhamdullillah di hari selanjutnya tidak terulangi lagi.

Adapun 9 tempat ( DUDI/ Dunia Usaha dan Dunia Industri ) yang menjadi tempat Prakerin 2011 adalah sebagai berikut :

1. FKIP UNS sebanyak 4 siswa
2. STMIK Sinar Nusantara 2 siswa
3. Risc Computer 2 siswa
4. Plasa Computer 2 siswa
5. Star Computer 2 siswa
6. Delta Computer 2 siswa
7. BSS Telkomsel 2 siswa
8. Elfi Computer 2 siswa
9. Lab Assalaam 2 siswa

Prakerin dilaksanakan dengan menyesuaikan jam kerja instansi, namun jika melebihi jam 5 sore maka pihak sekolah telah meminta untuk dijemput dengan alasan mereka akan mengikuti kegiatan kesantrian.

Dari kedelapan DUDI tersebut diatas semuanya menggunakan hari libur Ahad, adapun yang satu hari jumat yaitu Lab Assalaam, karena berada di komplek Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam yang meresmikan libur mereka hari Jumat.

di sepekan pertama ini masih terdengar sebagian keluh kesah siswa prakerin, namun juga ada yang merasa senang karena sering dibawa keluar melakukan perjalanan, diantara keluh kesah yang disampaikan adalah :
1. terlalu banyak pekerjaan yang berikan
2. tidak ada pekerjaan sama sekali
3. jam masuk terlalu siang
4. Penjemputan terlalu lama menunggu
5. uang saku kurang
6. seragam terlalu besar
7. belum bisa berinteraksi dengan instansinya

Sukses anak-anakku.....................
Sementara ini saja yang ana tulskan, insyaallah bersambung....

Kamis, 04 November 2010

Hukum Photo dan Gambar

Syaikh ‘Abdullâh bin Shâlih al-‘Ubailân hafizhahullâhu ditanya tentang hukum gambar, maka beliau hafizhahullâhu menjawab :

Masalah ini ada perinciannya. Para ulama bersepakat akan keharaman gambar (yang dibuat) oleh tangan, sebagaimana mereka juga bersepakat akan haramnya gambar-gambar yang berfisik (jism) dan patung-patung. Inilah yang disepakati oleh para ulama (keharamannya) dan banyak nash-nash yang secara tegas menunjukkan (akan keharaman) gambar-gambar yang telah ada semenjak zaman nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam.

Adapun gambar-gambar yang ada di zaman ini, maka terbagi menjadi dua : yaitu gambar fotografi dan gambar video. Adapun yang pertama (yaitu fotografi) maka para ulama ahlus sunnah bersepakat akan haramnya menggantungkan gambar-gambar foto dan hukumnya sama dengan hukum gambar yang dihasilkan dari gambar tangan yang digantung. Sebab, keserupaan hasil dari gambar yang dibuat oleh tangan sama dengan gambar yang dihasilkan oleh kamera.

Adapun selain itu (yaitu selain digantung), maka para ulama berbeda pendapat. Diantara mereka ada yang menyamakan antara gambar foto dengan gambar tangan, yaitu hukumnya haram secara mutlak, kecuali pada keadaan tertentu yang mendesak (yang tidak bisa dihindarkan, seperti KTP, SIM, Paspor, dls, pent.). Sebagian lagi berpendapat bahwa hukum foto tidak sama dengan hukum gambar tangan, selama tidak diagungkan. Jika diagungkan, maka haram hukumnya. Mereka berargumentasi bahwa gambar fotografi itu tidak ada unsur penciptaan dan menggambar manusia di dalamnya, namun hanyalah memindahkan obyek suatu benda dan menempatkannya (di tempat lain), yang serupa dengan gambar pada cermin, dimana apabila tampak gambar manusia di dalamnya, tidak ada yang mengatakan bahwa gambar tersebut haram hukumnya. Sebab, tidak ada unsur penciptaan makhluk Alloh di dalamnya. Keserupaan akan terjadi apabila manusia masuk ke dalam penciptaan makhluk Alloh, namun dalam kondisi ini (yaitu fotografi) tidak sama dengan penciptaan makhluk Alloh. Walau demikian, tidak disukai dan dianjurkan bagi seseorang untuk memperbanyak suatu hal yang tidak begitu dibutuhkan olehnya.

Adapun gambar-gambar di kamera televisi, maka saya tidak tahu ada seorang pun dari guru-guru kami yang menfatwakan keharamannya. Sisi pandang argumentasinya adalah, bahwa hal ini tidak dianggap sebagai gambar kecuali di saat menyaksikannnya, kemudian hal ini hanyalah memindahkan (obyek) hidup di saat kejadian dan tidak termasuk gambar yang dilarang oleh Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam.
(Ditranskrip secara bebas dari Liqo`ul Maftuh Syaikh al-‘Ubailân/Abu Salma)

Al-Faqir Abdullah Sholeh Hadrami –Ghofarollohu Lahu berkata:

Mengenai gambar makhluk bernyawa kita perlu memerincinya. Memang terdapat riwayat-riwayat sahih tentang larangan patung dan gambar makhluk bernyawa sebagaimana dalam Kitab Tauhidnya Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab –Rahimahullah. Tidak ada khilaf di kalangan salaf akan diharamkannya kedua hal tersebut.

Yang menjadi masalah adalah Foto Kamera (Photografi) yang belum ada pada masa Nabi dan Salaf. Sehingga terjadi perbedaan pendapat dikalangan Ulama. Sebagian mengatakan masuk dalam hukum larangan dan sebagian mengatakan tidak masuk dalam larangan, karena itu bukan menggambar atau melukis akan tetapi memindahkan gambar ciptaan Allah dengan alat tertentu seperti bercermin. Tentu saja asalkan gambarnya adalah yang mubah dan bukan yang diharamkan.

Kecuali, apabila ada unsur yg merubah status hukum asalnya menjadi haram, seperti memasang gambar yg dapat menimbulkan fitnah, gambar wanita, atau gambar yang dikhawatirkan akan ada unsur kultus atau pengagungan, atau memajangnya di rumah, dll.

Hal ini dikarenakan tidak adanya dalil yang sahih dan sharih (jelas) tentang masalah Foto Kamera (Photografi) tersebut. Jadi, masalah ini adalah masalah ijtihad murni. Seandainya ada yang mengharamkan, maka haramnya adalah haram ijtihadi (hasil ijtihad) dan bukan haram Qoth’i (pasti)…Bukankah kita harus berlapang dada dalam masalah khilafiyyah yang sumbernya adalah ijtihad? Selama khilaf tersebut bukan dalam masalah aqidah?

Namun demikian hendaklah Foto tersebut tidak dipajang di dalam rumah akan tetapi di simpan saja, karena dikhawatirkan masuk dalam sabda Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam:

"Sesungguhnya Malaikat tidak akan masuk suatu rumah yang di dalamnya ada patung atau gambar-gambar." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Semoga Jelas dan Bisa Dipahami.

Wallaahul Musta’aan…

sumber : http://www.kajianislam.net

Senin, 01 November 2010

FIQIH QURBAN

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan.” (QS. Al Kautsar: 2). Syaikh Abdullah Alu Bassaam mengatakan, “Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan; Yang dimaksud dengan menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban setelah shalat Ied.” Pendapat ini dinukilkan dari Qatadah, Atha’ dan Ikrimah (Taisirul ‘Allaam, 534 Taudhihul Ahkaam, IV/450. Lihat juga Shahih Fiqih Sunnah II/366). Dalam istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa disebut dengan nama Al Udh-hiyah yang bentuk jamaknya Al Adhaahi (dengan huruf ha’ tipis)
Pengertian Udh-hiyah
Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)
Keutamaan Qurban
Menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihat Taudhihul Ahkam, IV/450)
Hadis di atas didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (dhaif Ibn Majah, 671). Namun kegoncangan hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban. Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adlha lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah. (lih. Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi’ 7/521)
Hukum Qurban
Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:
Pertama, wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu…” (lih. Syarhul Mumti’, III/408) Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Pendapat kedua menyatakan Sunnah Mu’akkadah (ditekankan). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.” (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul Ahkaam, IV/454)
Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan: “…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam.” (Tafsir Adwa’ul Bayan, 1120)
Yakinlah…! bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit).” (HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).
Hewan yang Boleh Digunakan Untuk Qurban
Hewan qurban hanya boleh dari kalangan Bahiimatul Al An’aam (hewan ternak tertentu) yaitu onta, sapi atau kambing dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz 406) Dalilnya adalah firman Allah yang artinya, “Dan bagi setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul an’aam).” (QS. Al Hajj: 34) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, “Bahkan jika seandainya ada orang yang berqurban dengan jenis hewan lain yang lebih mahal dari pada jenis ternak tersebut maka qurbannya tidak sah. Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban seekor kuda seharga 10.000 real sedangkan seekor kambing harganya hanya 300 real maka qurbannya (dengan kuda) itu tidak sah…” (Syarhul Mumti’, III/409)
Seekor Kambing Untuk Satu Keluarga
Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266).
Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya kambing 1 untuk anak si A, kambing 2 untuk anak si B, karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk seluruh dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban. Sebelum menyembelih beliau mengatakan:”Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 4/349). Berdasarkan hadis ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan: “Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…” adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dst.
Namun seandainya ada orang yang hendak membantu shohibul qurban yang kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah hadiah bagi shohibul qurban. Apakah harus izin terlebih dahulu kepada pemilik hewan?
Jawab: Tidak harus, karena dalam transaksi hadiah tidak dipersyaratkan memberitahukan kepada orang yang diberi sedekah.
Ketentuan Untuk Sapi & Onta
Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan, “Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406)
Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.
Arisan Qurban Kambing?
Mengadakan arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian ulama menganjurkan untuk berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dinukil oleh Ibn Katsir dari Sufyan At Tsauri (Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj:36)(*) Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau menyarankan agar orang yang tidak memiliki biaya aqiqah agar berhutang dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran.
(*) Sufyan At Tsauri rahimahullah mengatakan: Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta qurban. Beliau ditanya: “Kamu berhutang untuk beli unta qurban?” beliau jawab: “Saya mendengar Allah berfirman: لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ (kamu memperoleh kebaikan yang banyak pada unta-unta qurban tersebut) (QS: Al Hajj:36).” (lih. Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36).
Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban. Di antaranya adalah Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net di bawah pengawasan Dr. Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 & 28826). Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Jika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.” (Syarhul Mumti’ 7/455). Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit hutang, dan beliau jawab: “Jika di hadapkan dua permasalahan antara berqurban atau melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang, lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat dekat.” (lih. Majmu’ Fatawa & Risalah Ibn Utsaimin 18/144).
Namun pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama yang menyarankan untuk berhutang ketika qurban dipahami untuk kasus orang yang keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau kasus hutang yang jatuh temponya masih panjang. Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada qurban dipahami untuk kasus orang yang kesulitan melunasi hutang atau hutang yang menuntut segera dilunasi. Dengan demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai hutang yang jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah satu hal yang baik. Wallahu a’lam.
Qurban Kerbau?
Para ulama’ menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya disikapi sebagai satu jenis (Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975). Ada beberapa ulama yang secara tegas membolehkan berqurban dengan kerbau, dari kalangan Syafi’iyah (lih. Hasyiyah Al Bajirami) maupun dari Hanafiyah (lih. Al ‘Inayah Syarh Hidayah 14/192 dan Fathul Qodir 22/106). Mereka menganggap keduanya satu jenis.
Syaikh Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.
Pertanyaan:
“Kerbau dan sapi memiliki perbedaan dalam banyak sifat sebagaimana kambing dengan domba. Namun Allah telah merinci penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak merinci penyebutan kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat Al An’am 143. Apakah boleh berqurban dengan kerbau?”
Beliau menjawab:
“Jika hakekat kerbau termasuk sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun jika tidak maka (jenis hewan) yang Allah sebut dalam alqur’an adalah jenis hewan yang dikenal orang arab, sedangkan kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal orang arab.” (Liqa’ Babil Maftuh 200/27)
Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa pada penjelasan ulama di atas maka bisa disimpulkan bahwa qurban kerbau hukumnya sah, karena kerbau sejenis dengan sapi. Wallahu a’lam.
Urunan Qurban Satu Sekolahan
Terdapat satu tradisi di lembaga pendidikan di daerah kita, ketika iedul adha tiba sebagian sekolahan menggalakkan kegiatan latihan qurban bagi siswa. Masing-masing siswa dibebani iuran sejumlah uang tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan disembelih di hari-hari qurban. Apakah ini bisa dinilai sebagai ibadah qurban?
Perlu dipahami bahwa qurban adalah salah satu ibadah dalam islam yang memiliki aturan tertentu sebagaimana yang digariskan oleh syari’at. Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai sebagai ibadah qurban alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut adalah masalah pembiayaan. Sebagaimana dipahami di muka, biaya pengadaan untuk seekor kambing hanya boleh diambilkan dari satu orang. Oleh karena itu kasus tradisi ‘qurban’ seperti di atas tidak dapat dinilai sebagai qurban.
Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?
Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:
• Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya meskipun ada yang sudah meninggal.
• Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit (lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765). Namun sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang mendahului beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
• Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuknya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti’ yang diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51.
Umur Hewan Qurban
Untuk onta dan sapi: Jabir meriwayatkan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh menyembelihdomba jadza’ah.” (Muttafaq ‘alaih)
Musinnah adalah hewan ternak yang sudah dewasa, dengan rincian:
No. Hewan Umur minimal
1. Onta 5 tahun
2. Sapi 2 tahun
3. Kambing jawa 1 tahun
4. Domba/ kambing gembel 6 bulan
(domba Jadza’ah)
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/371-372, Syarhul Mumti’, III/410, Taudhihul Ahkaam, IV/461)
Cacat Hewan Qurban
Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:
Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4 (**):
• Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya: Jika butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum buta – meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. ulama’ madzhab syafi’iyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
• Sakit dan tampak sekali sakitnya.
• Pincang dan tampak jelas pincangnya: Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan hewan qurban.
• Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.
Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih Fiqih Sunnah, II/373 & Syarhul Mumti’ 3/294).
Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2 (***):
• Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
• Tanduknya pecah atau patah (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.
Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu a’lam
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
(**) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang cacat hewan apa yang harus dihindari ketika berqurban. Beliau menjawab: “Ada empat cacat… dan beliau berisyarat dengan tangannya.” (HR. Ahmad 4/300 & Abu Daud 2802, dinyatakan Hasan-Shahih oleh Turmudzi). Sebagian ulama menjelaskan bahwa isyarat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangannya ketika menyebutkan empat cacat tersebut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi jenis cacat yang terlarang. Sehingga yang bukan termasuk empat jenis cacat sebagaimana dalam hadis boleh digunakan sebagai qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/464)
(***) Terdapat hadis yang menyatakan larangan berqurban dengan hewan yang memilki dua cacat, telinga terpotong atau tanduk pecah. Namun hadisnya dlo’if, sehingga sebagian ulama menggolongkan cacat jenis kedua ini hanya menyebabkan makruh dipakai untuk qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/470)
Hewan yang Disukai dan Lebih Utama untuk Diqurbankan
Hendaknya hewan yang diqurbankan adalah hewan yang gemuk dan sempurna. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “…barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya itu adalah berasal dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32). Berdasarkan ayat ini Imam Syafi’i rahimahullah menyatakan bahwa orang yang berqurban disunnahkan untuk memilih hewan qurban yang besar dan gemuk. Abu Umamah bin Sahl mengatakan, “Dahulu kami di Madinah biasa memilih hewan yang gemuk dalam berqurban. Dan memang kebiasaan kaum muslimin ketika itu adalah berqurban dengan hewan yang gemuk-gemuk.” (HR. Bukhari secara mu’allaq namun secara tegas dan dimaushulkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Mustakhraj, sanadnya hasan)
Diantara ketiga jenis hewan qurban maka menurut mayoritas ulama yang paling utama adalah berqurban dengan onta, kemudian sapi kemudian kambing, jika biaya pengadaan masing-masing ditanggung satu orang (bukan urunan). Dalilnya adalah jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Abu Dzar radhiallahu ‘anhu tentang budak yang lebih utama. Beliau bersabda, “Yaitu budak yang lebih mahal dan lebih bernilai dalam pandangan pemiliknya” (HR. Bukhari dan Muslim). (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/374)
Manakah yang Lebih Baik, Ikut Urunan Sapi atau Qurban Satu Kambing?
Sebagian ulama menjelaskan qurban satu kambing lebih baik dari pada ikut urunan sapi atau onta, karena tujuh kambing manfaatnya lebih banyak dari pada seekor sapi (lih. Shahih Fiqh Sunnah, 2/375, Fatwa Lajnah Daimah no. 1149 & Syarhul Mumthi’ 7/458). Disamping itu, terdapat alasan lain diantaranya:
• Qurban yang sering dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utuh satu ekor, baik kambing, sapi, maupun onta, bukan 1/7 sapi atau 1/10 onta.
• Kegiatan menyembelihnya lebih banyak. Lebih-lebih jika hadis yang menyebutkan keutamaan qurban di atas statusnya shahih. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh penulis kitab Al Muhadzab Al Fairuz Abadzi As Syafi’i. (lih. Al Muhadzab 1/74)
• Terdapat sebagian ulama yang melarang urunan dalam berqurban, diantaranya adalah Mufti Negri Saudi Syaikh Muhammad bin Ibrahim (lih. Fatwa Lajnah 11/453). Namun pelarangan ini didasari dengan qiyas (analogi) yang bertolak belakang dengan dalil sunnah, sehingga jelas salahnya.
Apakah Harus Jantan?
Tidak ada ketentuan jenis kelamin hewan qurban. Boleh jantan maupun betina. Dari Umu Kurzin radliallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aqiqah untuk anal laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing. Tidak jadi masalah jantan maupun betina.” (HR. Ahmad 27900 & An Nasa’i 4218 dan dishahihkan Syaikh Al Albani). Berdasarkan hadis ini, Al Fairuz Abadzi As Syafi’i mengatakan: “Jika dibolehkan menggunakan hewan betina ketika aqiqah berdasarkan hadis ini, menunjukkan bahwa hal ini juga boleh untuk berqurban.” (Al Muhadzab 1/74)
Namun umumnya hewan jantan itu lebih baik dan lebih mahal dibandingkan hewan betina. Oleh karena itu, tidak harus hewan jantan namun diutamakan jantan.
Larangan Bagi yang Hendak Berqurban
Orang yang hendak berqurban dilarang memotong kuku dan memotong rambutnya (yaitu orang yang hendak qurban bukan hewan qurbannya). Dari Ummu Salamah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Apabila engkau telah memasuki sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan diantara kalian ingin berqurban maka janganlah dia menyentuh sedikitpun bagian dari rambut dan kulitnya.” (HR. Muslim). Larangan tersebut berlaku untuk cara apapun dan untuk bagian manapun, mencakup larangan mencukur gundul atau sebagian saja, atau sekedar mencabutinya. Baik rambut itu tumbuh di kepala, kumis, sekitar kemaluan maupun di ketiak (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/376).
Apakah larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga ataukah berlaku juga untuk anggota keluarga shohibul qurban?
Jawab: Larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga (shohibul qurban) dan tidak berlaku bagi anggota keluarganya. Karena 2 alasan:
• Dlahir hadis menunjukkan bahwa larangan ini hanya berlaku untuk yang mau berqurban.
• Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berqurban untuk dirinya dan keluarganya. Namun belum ditemukan riwayat bahwasanya beliau menyuruh anggota keluarganya untuk tidak memotong kuku maupun rambutnya. (Syarhul Mumti’ 7/529)
Waktu Penyembelihan
Waktu penyembelihan qurban adalah pada hari Iedul Adha dan 3 hari sesudahnya (hari tasyriq). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap hari taysriq adalah (hari) untuk menyembelih (qurban).” (HR. Ahmad dan Baihaqi) Tidak ada perbedaan waktu siang ataupun malam. Baik siang maupun malam sama-sama dibolehkan. Namun menurut Syaikh Al Utsaimin, melakukan penyembelihan di waktu siang itu lebih baik. (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 33). Para ulama sepakat bahwa penyembelihan qurban tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya fajar di hari Iedul Adha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat Ied maka sesungguhnya dia menyembelih untuk dirinya sendiri (bukan qurban). Dan barangsiapa yang menyembelih sesudah shalat itu maka qurbannya sempurna dan dia telah menepati sunnahnya kaum muslimin.” (HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/377)
Tempat Penyembelihan
Tempat yang disunnahkan untuk menyembelih adalah tanah lapangan tempat shalat ‘ied diselenggarakan. Terutama bagi imam/penguasa/tokoh masyarakat, dianjurkan untuk menyembelih qurbannya di lapangan dalam rangka memberitahukan kepada kaum muslimin bahwa qurban sudah boleh dilakukan dan mengajari tata cara qurban yang baik. Ibnu ‘Umar mengatakan, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyembelih kambing dan onta (qurban) di lapangan tempat shalat.” (HR. Bukhari 5552).
Dan dibolehkan untuk menyembelih qurban di tempat manapun yang disukai, baik di rumah sendiri ataupun di tempat lain. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378)
Penyembelih Qurban
Disunnahkan bagi shohibul qurban untuk menyembelih hewan qurbannya sendiri namun boleh diwakilkan kepada orang lain. Syaikh Ali bin Hasan mengatakan: “Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama’ dalam masalah ini.” Hal ini berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu di dalam Shahih Muslim yang menceritakan bahwa pada saat qurban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyembelih beberapa onta qurbannya dengan tangan beliau sendiri kemudian sisanya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu untuk disembelih. (lih. Ahkaamul Idain, 32)
Tata Cara Penyembelihan
• Sebaiknya pemilik qurban menyembelih hewan qurbannya sendiri.
• Apabila pemilik qurban tidak bisa menyembelih sendiri maka sebaiknya dia ikut datang menyaksikan penyembelihannya.
• Hendaknya memakai alat yang tajam untuk menyembelih.
• Hewan yang disembelih dibaringkan di atas lambung kirinya dan dihadapkan ke kiblat. Kemudian pisau ditekan kuat-kuat supaya cepat putus.
• Ketika akan menyembelih disyari’akan membaca “Bismillaahi wallaahu akbar” ketika menyembelih. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan Ar Rahiim) hukumnya wajib menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, sedangkan menurut Imam Syafi’i hukumnya sunnah. Adapun bacaan takbir – Allahu akbar – para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah sunnah dan bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan:
o hadza minka wa laka.” (HR. Abu Dawud 2795) Atau
o hadza minka wa laka ‘anni atau ‘an fulan (disebutkan nama shahibul qurban).” atau
o Berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, “Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban)” (lih. Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 92)Catatan: Tidak terdapat do’a khusus yang panjang bagi shohibul qurban ketika hendak menyembelih. Wallahu a’lam.
Bolehkah Mengucapkan Shalawat Ketika Menyembelih?
Tidak boleh mengucapkan shalawat ketika hendak menyembelih, karena 2 alasan:
• Tidak terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan shalawat ketika menyembelih. Sementara beribadah tanpa dalil adalah perbuatan bid’ah.
• Bisa jadi orang akan menjadikan nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai wasilah ketika qurban. Atau bahkan bisa jadi seseorang membayangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih, sehingga sembelihannya tidak murni untuk Allah. (lih. Syarhul Mumti’ 7/492)
Pemanfaatan Hasil Sembelihan
Bagi pemilik hewan qurban dibolehkan memanfaatkan daging qurbannya, melalui:
• Dimakan sendiri dan keluarganya, bahkan sebagian ulama menyatakan shohibul qurban wajib makan bagian hewan qurbannya. Termasuk dalam hal ini adalah berqurban karena nadzar menurut pendapat yang benar.
• Disedekahkan kepada orang yang membutuhkan
• Dihadiahkan kepada orang yang kaya
• Disimpan untuk bahan makanan di lain hari. Namun penyimpanan ini hanya dibolehkan jika tidak terjadi musim paceklik atau krisis makanan.
Dari Salamah bin Al Akwa’ dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa diantara kalian yang berqurban maka jangan sampai dia menjumpai subuh hari ketiga sesudah Ied sedangkan dagingnya masih tersisa walaupun sedikit.” Ketika datang tahun berikutnya maka para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu ?” Maka beliau menjawab, “(Adapun sekarang) Makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami kesulitan (makanan) sehingga aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Menurut mayoritas ulama perintah yang terdapat dalam hadits ini menunjukkan hukum sunnah, bukan wajib (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378) Oleh sebab itu, boleh mensedekahkan semua hasil sembelihan qurban. Sebagaimana diperbolehkan untuk tidak menghadiahkannya (kepada orang kaya, ed.) sama sekali kepada orang lain (Minhaajul Muslim, 266). (artinya hanya untuk shohibul qurban dan sedekah pada orang miskin, ed.)
Bolehkah Memberikan Daging Qurban Kepada Orang Kafir?
Ulama madzhab Malikiyah berpendapat makruhnya memberikan daging qurban kepada orang kafir, sebagaimana kata Imam Malik: “(diberikan) kepada selain mereka (orang kafir) lebih aku sukai.” Sedangkan syafi’iyah berpendapat haramnya memberikan daging qurban kepada orang kafir untuk qurban yang wajib (misalnya qurban nadzar, pen.) dan makruh untuk qurban yang sunnah. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 29843). Al Baijuri As Syafi’I mengatakan: “Dalam Al Majmu’ (Syarhul Muhadzab) disebutkan, boleh memberikan sebagian qurban sunnah kepada kafir dzimmi yang faqir. Tapi ketentuan ini tidak berlaku untuk qurban yang wajib.” (Hasyiyah Al Baijuri 2/310)
Lajnah Daimah (Majlis Ulama’ saudi Arabia) ditanya tentang bolehkah memberikan daging qurban kepada orang kafir.
Jawaban Lajnah:
“Kita dibolehkan memberi daging qurban kepada orang kafir Mu’ahid (****) baik karena statusnya sebagai orang miskin, kerabat, tetangga, atau karena dalam rangka menarik simpati mereka… namun tidak dibolehkan memberikan daging qurban kepada orang kafir Harby, karena kewajiban kita kepada kafir harby adalah merendahkan mereka dan melemahkan kekuatan mereka. Hukum ini juga berlaku untuk pemberian sedekah. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah 8)
Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Asma’ binti Abu Bakr radhiallahu ‘anhu untuk menemui ibunya dengan membawa harta padahal ibunya masih musyrik.” (Fatwa Lajnah Daimah no. 1997).
Kesimpulannya, memberikan bagian hewan qurban kepada orang kafir dibolehkan karena status hewan qurban sama dengan sedekah atau hadiah, dan diperbolehkan memberikan sedekah maupun hadiah kepada orang kafir. Sedangkan pendapat yang melarang adalah pendapat yang tidak kuat karena tidak berdalil.
(****) Kafir Mu’ahid: Orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Termasuk orang kafir mu’ahid adalah orang kafir yang masuk ke negeri islam dengan izin resmi dari pemerintah. Kafir Harby: Orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Kafir Dzimmi: Orang kafir yang hidup di bawah kekuasaan kaum muslimin.
Larangan Memperjual-Belikan Hasil Sembelihan
Tidak diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan sembelihan, baik daging, kulit, kepala, teklek, bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan onta qurbannya. Beliau juga memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya. Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan terdapat ancaman keras dalam masalah ini, sebagaimana hadis berikut:
من باع جلد أضحيته فلا أضحية له
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka ibadah qurbannya tidak ada nilainya.” (HR. Al Hakim 2/390 & Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan: Hasan)
Tetang haramnya pemilik hewan menjual kulit qurban merupakan pendapat mayoritas ulama, meskipun Imam Abu Hanifah menyelisihi mereka. Namun mengingat dalil yang sangat tegas dan jelas maka pendapat siapapun harus disingkirkan.
Catatan:
• Termasuk memperjual-belikan bagian hewan qurban adalah menukar kulit atau kepala dengan daging atau menjual kulit untuk kemudian dibelikan kambing. Karena hakekat jual-beli adalah tukar-menukar meskipun dengan selain uang.
• Transaksi jual-beli kulit hewan qurban yang belum dibagikan adalah transaksi yang tidak sah. Artinya penjual tidak boleh menerima uang hasil penjualan kulit dan pembeli tidak berhak menerima kulit yang dia beli. Hal ini sebagaimana perkataan Al Baijuri: “Tidak sah jual beli (bagian dari hewan qurban) disamping transaksi ini adalah haram.” Beliau juga mengatakan: “Jual beli kulit hewan qurban juga tidak sah karena hadis yang diriwayatkan Hakim (baca: hadis di atas).” (Fiqh Syafi’i 2/311).
• Bagi orang yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini sudah menjadi haknya. Sedangkan menjual kulit yang dilarang adalah menjual kulit sebelum dibagikan (disedekahkan), baik yang dilakukan panitia maupun shohibul qurban.
Larangan Mengupah Jagal Dengan Bagian Hewan Sembelihan
Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwa “Beliau pernah diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurusi penyembelihan ontanya dan agar membagikan seluruh bagian dari sembelihan onta tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun pelana. Dan dia tidak boleh memberikannya kepada jagal barang sedikitpun.” (HR. Bukhari dan Muslim) dan dalam lafaz lainnya beliau berkata, “Kami mengupahnya dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim). Danini merupakan pendapat mayoritas ulama (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/379)
Syaikh Abdullah Al Bassaam mengatakan, “Tukang jagal tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai bentuk upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Yang diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika dia termasuk orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia adalah miskin…..” (Taudhihul Ahkaam, IV/464). Pernyataan beliau semakna dengan pernyataan Ibn Qosim yang mengatakan: “Haram menjadikan bagian hewan qurban sebagai upah bagi jagal.” Perkataan beliau ini dikomentari oleh Al Baijuri: “Karena hal itu (mengupah jagal) semakna dengan jual beli. Namun jika jagal diberi bagian dari qurban dengan status sedekah bukan upah maka tidak haram.” (Hasyiyah Al Baijuri As Syafi’i 2/311).
Adapun bagi orang yang memperoleh hadiah atau sedekah daging qurban diperbolehkan memanfaatkannya sekehendaknya, bisa dimakan, dijual atau yang lainnya. Akan tetapi tidak diperkenankan menjualnya kembali kepada orang yang memberi hadiah atau sedekah kepadanya (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, 69)
Menyembelih Satu Kambing Untuk Makan-Makan Panitia? Atau Panitia Dapat Jatah Khusus?
Status panitia maupun jagal dalam pengurusan hewan qurban adalah sebagai wakil dari shohibul qurban dan bukan amil (*****). Karena statusnya hanya sebagai wakil maka panitia qurban tidak diperkenankan mengambil bagian dari hewan qurban sebagai ganti dari jasa dalam mengurusi hewan qurban. Untuk lebih memudahkan bisa diperhatikan ilustrasi kasus berikut:
Adi ingin mengirim uang Rp 1 juta kepada Budi. Karena tidak bisa ketemu langsung maka Adi mengutus Rudi untuk mengantarkan uang tersebut kepada Budi. Karena harus ada biaya transport dan biaya lainnya maka Adi memberikan sejumlah uang kepada Rudi. Bolehkah uang ini diambilkan dari uang Rp 1 juta yang akan dikirimkan kepada Budi?? Semua orang akan menjawab: “TIDAK BOLEH KARENA BERARTI MENGURANGI UANGNYA BUDI.”
Status Rudi pada kasus di atas hanyalah sebagai wakil Adi. Demikian pula qurban. Status panitia hanya sebagai wakil pemilik hewan, sehingga dia tidak boleh mengambil bagian qurban sebagai ganti dari jasanya. Oleh karena itu, jika menyembelih satu kambing untuk makan-makan panitia, atau panitia dapat jatah khusus sebagai ganti jasa dari kerja yang dilakukan panitia maka ini tidak diperbolehkan.
(*****) Sebagian orang menyamakan status panitia qurban sebagaimana status amil dalam zakat. Bahkan mereka meyebut panitia qurban dengan ‘amil qurban’. Akibatnya mereka beranggapan panitia memiliki jatah khusus dari hewan qurban sebagaimana amil zakat memiliki jatah khusus dari harta zakat. Yang benar, amil zakat tidaklah sama dengan panitia pengurus qurban. Karena untuk bisa disebut amil, harus memenuhi beberapa persyaratan. Sementara pengurus qurban hanya sebatas wakil dari shohibul qurban, sebagaimana status sahabat Ali radhiallahu ‘anhu dalam mengurusi qurban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak ada riwayat Ali radhiallahu ‘anhu mendapat jatah khusus dari qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nasehat & Solusi Untuk Masalah Kulit
Satu penyakit kronis yang menimpa ibadah qurban kaum muslimin bangsa kita, mereka tidak bisa lepas dari ‘fiqh praktis’ menjual kulit atau menggaji jagal dengan kulit. Memang kita akui ini adalah jalan pintas yang paling cepat untuk melepaskan diri dari tanggungan mengurusi kulit. Namun apakah jalan pintas cepat ini menjamin keselamatan??? Bertaqwalah kepada Allah wahai kaum muslimin… sesungguhnya ibadah qurban telah diatur dengan indah dan rapi oleh Sang Peletak Syari’ah. Jangan coba-coba untuk keluar dari aturan ini karena bisa jadi qurban kita tidak sah. Berusahalah untuk senantiasa berjalan sesuai syari’at meskipun jalurnya ‘kelihatannya’ lebih panjang dan sedikit menyibukkan. Jangan pula terkecoh dengan pendapat sebagian orang, baik ulama maupun yang ngaku-ngaku ulama, karena orang yang berhak untuk ditaati secara mutlak hanya satu yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka semua pendapat yang bertentangan dengan hadis beliau harus dibuang jauh-jauh.
Tidak perlu bingung dan merasa repot. Bukankah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah mengurusi qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jumlahnya 100 ekor onta?! Tapi tidak ada dalam catatan sejarah Ali bin Abi thalib radhiallahu ‘anhu bingung ngurusi kulit dan kepala. Demikianlah kemudahan yang Allah berikan bagi orang yang 100% mengikuti aturan syari’at. Namun bagi mereka (baca: panitia) yang masih merasa bingung ngurusi kulit, bisa dilakukan beberapa solusi berikut:
• Kumpulkan semua kulit, kepala, dan kaki hewan qurban. Tunjuk sejumlah orang miskin sebagai sasaran penerima kulit. Tidak perlu diantar ke rumahnya, tapi cukup hubungi mereka dan sampaikan bahwa panitia siap menjualkan kulit yang sudah menjadi hak mereka. Dengan demikian, status panitia dalam hal ini adalah sebagai wakil bagi pemilik kulit untuk menjualkan kulit, bukan wakil dari shohibul qurban dalam menjual kulit.
• Serahkan semua atau sebagian kulit kepada yayasan islam sosial (misalnya panti asuhan atau pondok pesantren). (Terdapat Fatwa Lajnah yang membolehkan menyerahkan bagian hewan qurban kepada yayasan).
Mengirim sejumlah uang untuk dibelikan hewan qurban di tempat tujuan (di luar daerah pemilik hewan) dan disembelih di tempat tersebut? atau mengirimkan hewan hidup ke tempat lain untuk di sembelih di sana?
Pada asalnya tempat menyembelih qurban adalah daerah orang yang berqurban. Karena orang-orang yang miskin di daerahnya itulah yang lebih berhak untuk disantuni. Sebagian syafi’iyah mengharamkan mengirim hewan qurban atau uang untuk membeli hewan qurban ke tempat lain – di luar tempat tinggal shohibul qurban – selama tidak ada maslahat yang menuntut hal itu, seperti penduduk tempat shohibul qurban yang sudah kaya sementara penduduk tempat lain sangat membutuhkan. Sebagian ulama membolehkan secara mutlak (meskipun tidak ada tuntutan maslahat). Sebagai jalan keluar dari perbedaan pendapat, sebagian ulama menasehatkan agar tidak mengirim hewan qurban ke selain tempat tinggalnya. Artinya tetap disembelih di daerah shohibul qurban dan yang dikirim keluar adalah dagingnya. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 2997, 29048, dan 29843 & Shahih Fiqih Sunnah, II/380
Kesimpulannya, berqurban dengan model seperti ini (mengirim hewan atau uang dan bukan daging) termasuk qurban yang sah namun menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tiga hal:
• Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radiallahu ‘anhum tidak pernah mengajarkannya
• Hilangnya sunnah anjuran untuk disembelih sendiri oleh shohibul qurban
• Hilangnya sunnah anjuran untuk makan bagian dari hewan qurban.
Wallaahu waliyut taufiq.
Bagi para pembaca yang ingin membaca penjelasan yang lebih lengkap dan memuaskan silakan baca buku Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diterjemahkan Ustadz Aris Munandar hafizhahullah dari Talkhish Kitab Ahkaam Udh-hiyah wadz Dzakaah karya Syaikh Al Utsaimin rahimahullah, penerbit Media Hidayah. Semoga risalah yang ringkas sebagai pelengkap untuk tulisan saudaraku Abu Muslih hafizhahullah ini bermanfaat dan menjadi amal yang diterima oleh Allah ta’ala, sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta seluruh pengikut beliau yang setia. Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin.
Yogyakarta, 1 Dzul hijjah 1428
Keutamaan Tanggal 1 Sampai 10 Dzul Hijjah
Dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ما من أيّام العمل الصّالح فيها أحبّ إلى اللّه من هذه الأيّام – يعني أيّام العشر – قالوا : يا رسول اللّه ولا الجهاد في سبيل اللّه ؟ قال : ولا الجهاد في سبيل اللّه ، إلاّ رجل خرج بنفسه وماله ، فلم يرجع من ذلك بشيء.
“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan selama 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah.” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud & dishahihkan Syaikh Al Albani)
Berdasarkan hadis tersebut, ulama’ sepakat dianjurkannya berpuasa selama 8 hari pertama bulan Dzul hijjah. Dan lebih ditekankan lagi pada tanggal 9 Dzul Hijjah (Hari ‘Arafah)
Diceritakan oleh Al Mundziri dalam At Targhib (2/150) bahwa Sa’id bin Jubair (Murid terbaik Ibn Abbas) ketika memasuki tanggal satu Dzul Hijjah, beliau sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah sampai hampir tidak bisa mampu melakukannya.
Bagaimana dengan Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzul Hijjah) Secara Khusus?
Terdapat hadis yang menyatakan: “Orang yang berpuasa pada hari tarwiyah maka baginya pahala puasa satu tahun.” Namun hadis ini hadits palsu sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Zauzy (Al Maudhu’at 2/198), As Suyuthi (Al Masnu’ 2/107), As Syaukani (Al Fawaidul Majmu’ah).
Oleh karena itu, tidak perlu berniat khusus untuk berpuasa pada tanggal 8 Dzul Hijjah karena hadisnya dhaif. Namun jika berpuasa karena mengamalkan keumuman hadis shahih di atas maka diperbolehkan. (disarikan dari Fatwa Yas-aluunaka, Syaikh Hissamuddin ‘Affaanah). Wallaahu a’lam.

Hukum Sutrah dalam shalat

Penulis: Syaikh Abu 'Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Salman

Koreksi shalat kita : Menghadap sutrah/pembatas shalat

Dari Ibnu 'Umar -radhiyallahu 'anhuma-, dia berkata: Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:
((لاَ تُصَلِّي إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْن))
artinya:
"Janganlah kalian shalat, kecuali menghadap sutrah dan janganlah kalian membiarkan seorangpun lewat di hadapanmu, jika dia menolak hendaklah kamu bunuh dia, karena sesungguhnya ada syetan yang bersamanya."[1]

Dari Abu Sa'id al-Khudri -radhiyallahu 'anhuma-, dia berkata: Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:
((إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلْيَدْنُ مِنْهَا، وَلاَ يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا، فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ))
artinya:
"Jika salah seorang dari kalian shalat, hendaklah menghadap kepada sutrah dan hendaklah dia mendekat ke sutrah. Janganlah engkau membiarkan seorangpun lewat di antara engkau dengan sutrah. Jika ada seseorang melewatinya, hendaklah engkau membunuhnya, karena sesungguhnya dia itu syetan."[2]

Dalam satu riwayat: "Maka sesungguhnya syetan melewati antara dia dengan sutrah." Dari Sahl bin Abu Hitsmah -radhiyallahu 'anhu-: Dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, beliau berkata:
((إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ، فَلْيَدْنُ مِنْهَا، لاَيَقْطَعُ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ))
artinya:
"Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sutrah, hendaklah ia mendekatinya, sehingga syetan tidak memutus atas shalatnya."[3]
Dalam satu riwayat:
((إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ، وَلْيَقْتَرِبْ مِنَ السُّتْرَةِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ))
artinya:
"Jika salah seorang dari kalian shalat, maka hendaklah dia memakai sutrah dan mendekatinya, karena sesungguhnya syetan akan lewat di hadapannya."[4]

Asy-Syaukani rahimahullah berkata sebagai komentar atas hadist Abu Sa'id radhiallahu'anhu yang lalu: "Dalam hadist tersebut mengandung dalil, bahwa membuat sutrah dalam shalat adalah wajib."[5]

Dia (asy-Syaukani) rahimahullah berkata: "Kebanyakan hadits yang mencakup perintah membuat sutrah, dan dhahir dari perintah itu menunjukkan wajib. Jika didapati suatu dalil yang memalingkan perintah wajib ini kepada sunnah, maka hukumnya menjadi sunnah. Tidaklah benar untuk dijadikan sebagai dalil yang memalingkan, yaitu sabda beliau -shallallahu 'alaihi wasallam-:

"Maka sesungguhnya sesuatu yang lewat di hadapannya tidak membahayakannya." Karena seseorang yang shalat itu wajib menjauhi sesuatu yang membahayakannya dalam shalat atau menjauhi sesuatu yang bisa menghilangkan sebagian pahalanya.[6]

Di antara hal yang menguatkan wajibnya membuat sutrah:

"Sesungguhnya sutrah itu sebab yang syar'i, yang dengannya shalat seseorang tidak batal, dengan sebab lewatnya seorang wanita yang sudah baligh, keledai atau anjing hitam, sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih. Dan untuk mencegah orang yang lewat dihadapannya serta hukum-hukum selain yang berkaitan dengan sutrah.[7]

Oleh karena itu, salafus shalih (shohabah, tabi'in dan tabiut tabi'it radhiallahu'anhuma)-semoga Allah meridhai mereka- sangat gigih dalam membuat sutrah untuk shalat. Sehingga datanglah perkataan dan perbuatan mereka yang menunjukkan, bahwa mereka sangat gigih dalam mendorong menegakkan sutrah dan memerintahkannya serta mengingkari orang yang shalat yang tidak menghadap kepada sutrah, sebagaimana yang akan engkau lihat.

Dari Qurrah bin 'Iyas radhiallahu'anhu, dia berkata: "`Umar telah melihat saya ketika saya sedang shalat di antara dua tiang, maka dia memegangi tengkuk saya, lalu mendekatkan saya kepada sutrah. Maka dia berkata: "Shalatlah engkau dengan menghadap kepadanya."[8]
Al-Hafidz Ibnu Hajar radhiallahu'anhu berkata: "Dengan itu 'Umar menginginkan agar dia shalat menghadap ke sutrah."[9]

Dari Ibnu 'Umar radhiallahu'anhu, dia berkata: "Jika salah seorang dari kalian shalat, hendaklah dia shalat menghadap ke sutrah dan mendekatinya, supaya syetan tidak lewat di depannya."[10]

Ibnu Mas'ud radhiallahu'anhu berkata: "Empat perkara dari perkara yang sia-sia: "Seseorang shalat tidak menghadap ke sutrah... atau dia mendengar orang yang adzan, tetapi dia tidak memberikan jawaban."[11]

Wahai saudaraku pembaca, perhatikanlah -semoga Allah memberikan petunjuk kepadaku dan engkau- bagaimana perintah-perintah itu datang dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, yang kalau mentaatinya berarti mentaati Allah. Tidaklah beliau berbicara dari hawa (nafsu)-nya, melainkan dari wahyu yang diturunkan. Bagaimana para sahabatnya memerintahkan dengan sesuatu yang beliau perintahkan, sehingga 'Umar -radhiyallahu 'anhu- khalifah yang lurus, dialah yang mendatangi sahabat yang agung ketika dalam keadaan shalat, maka dia ('Umar) memegangi tengkuk sahabatnya itu untuk mendekatkannya ke sutrah, sehingga shalatnya menghadap kepadanya. Dan perhatikanlah, bagaimana Ibnu Mas'ud radhiallahu'anhu menyamakan antara shalatnya seseorang yang tidak menghadap ke sutrah dengan orang yang tidak memberikan jawaban ketika mendengar adzan."[12]

Dari Anas radhiallahu'anhu, dia berkata: "Sesungguhnya saya melihat sahabat-sahabat Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- bergegas-gegas menuju ke tiang-tiang di saat shalat Maghrib, sampai Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- keluar."[13]

Dalam satu riwayat: "Dalam keadaan seperti itu, mereka shalat dua rakaat sebelum Maghrib."[14]

Anas radhiallahu'anhu menceritakan keadaan para sahabat dalam waktu yang sempit itu, bagaimana mereka bergegas-gegas menuju ke tiang-tiang untuk melakukan shalat dua rakaat sebelum Maghrib.

Dari Nafi' radhiallahu'anhu, dia berkata: "Bahwasanya Ibnu 'Umar jika tidak mendapati jalan menuju ke salah satu tiang dari tiang-tiang masjid, dia berkata kepadaku: "Palingkan punggungmu untukku."[15]

Dan dari dia (Nafi') radhiallahu'anhu juga, dia berkata: "Bahwa Ibnu 'Umar tidak shalat, kecuali menghadap ke sutrah."[16]

Salamah bin al-Akwa` radhiallahu'anhu menegakkan batu-batu di tanah, ketika dia hendak shalat, dia menghadap kepadanya.[17]

Dalam atsar ini: Tidak ada bedanya antara di tanah lapang maupun di dalam bangunan. Dhahir hadist-hadist yang lalu serta perbuatan Nabi shalallahu'alaihi wasallam menguatkan yang demikian itu, sebagaimana yang telah ditetapkan asy-Syaukani rahimahullah atas hal tersebut.[18]

Al-Allamah as-Safarini rahimahullah berkata: "Ketahuilah, sesungguhnya orang yang shalat disunnahkan membuat sutrah berdasarkan kesepakatan para ulama. Meskipun dia tidak khawatir adanya orang yang melewatinya. Ini menyelisihi al-Malik. Dalam al-Waadhih: wajib dari tembok atau sesuatu yang dapat jadi penghalang (sutrah) tersebut dan luasnya sutrah itu mengherankan al-Imam Ahmad.[19] Pemutlakan tersebut sangat tepat, karena penjelasan alasannya hanya bersandar dengan ra'yu (pikiran) semata, tidak ada dalil padanya dan di dalamnya terdapat pengguguran hanya dengan ra'yu terhadap nash-nash (dalil) yang mewajibkan untuk membuat sutrah sebagiannya telah disebutkan sebelumnya. Dan ini tidak dibolehkan, khususnya jika yang lewat itu dari jenis yang tidak bisa dilihat oleh manusia yaitu syetan. Sesungguhnya telah datang kabar yang terang dari perkataan dan perbuatan (Nabi) -shallallahu 'alaihi wasallam-."[20]

Ibnu Khuzaimah rradhiallahu'anhu, setelah menyebutkan sebagian hadits-hadits yang memerintahkan membuat sutrah, dia berkata:

"Kabar-kabar ini semua shahih, sesungguhnya Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- telah memerintahkan kepada orang yang shalat agar membuat sutrah di dalam shalatnya."

Abdul Karim menduga, setelah mendapatkan kabar dari Mujahid dari Ibnu 'Abbas:
"Sesungguhnya Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- pernah shalat tidak menghadap ke sutrah, ketika beliau berada di tanah lapang,[21] karena Arafat di jaman Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- tidak ada bangunan yang tegak yang dengannya beliau bisa membuat sutrah dalam shalatnya!! Padahal sesungguhnya beliau telah melarang seseorang melakukan shalat, kecuali menghadap ke sutrah. Maka bagaimana beliau melakukan sesuatu yang beliau sendiri melarangnya?!"[22]

Saya (penulis) berkata: Tidak adanya bangunan tidaklah menghalangi dari membuat sutrah. Karena telah ada penjelasan yang demikian itu dalam hadits Ibnu 'Abbas -radhiyallahu 'anhuma-.

Dari Ibnu 'Abbas radhiallahu'anhu, dia berkata: "Dia telah shalat bersama manusia di Mina menghadap ke selain tembok."[23]

Dan terdapat riwayat yang shahih dari jalan lain, sesungguhnya dia berkata: "Saya menancapkan tombak kecil di hadapan Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- ketika di Arafat dan beliau shalat ke arahnya dan keledai ada di belakang tombak kecil itu."[24]

Ibnu at-Tirkamani radhiallahu'anhu berkata: "Saya katakan bahwa: "Tidak adanya dinding tidak mengharuskan meniadakan sutrah. Sementara saya tidak tahu apa sisi pendalilan dari riwayat Malik tersebut yang menunjukkan, bahwa beliau shalat tidak menghadap ke sutrah."[25]
Setelah beberapa uraian di atas, maka kami (penulis) berkata: Nyatalah bagi kami dengan jelas, bahwa:

1. Kesalahan orang yang shalat yang tidak meletakkan di hadapannya atau menghadap ke sutrah, walaupun dia aman dari lalu-lalangnya manusia, atau dia berada di tanah lapang.
Tidak ada bedanya antara di kota Makkah ataupun di tempat lainnya dalam hukum tentang sutrah ini secara mutlak.[26]

2. Sebagian ulama menyunnahkan orang yang shalat untuk meletakkan sutrah agak ke kanan atau ke kiri sedikit dan tidak menghadapkan dengan tepat ke arah kiblat. [27] Namun yang demikian ini tidak ada dalilnya yang shahih, namun kesemuanya itu boleh dan pandangan yang rojih adalah tepat lurus di hadapannya.[28]

3. Ukuran sutrah minimal adalah setinggi pelana atau minimal satu hasta (46,2 cm cm) yang mencukupi bagi orang yang shalat untuk menolak atau menghalangi orang yang akan lewat. Sedangkan ukuran sutrah yang kurang dari ukuran itu dalam waktu yang longgar tidak diperbolehkan.

Dan dalilnya dari Thalhah radhiallahu'anhu, dia berkata: Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:
((إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤَخِّرَةِ الرَّحْلِ، فَلْيُصَلِّ، وَلاَ يُبَالِي مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ))
artinya:
"Jika salah seorang dari kalian telah meletakkan tiang setinggi pelana di hadapannya, maka hendaklah ia shalat dan janganlah ia memperdulikan orang yang ada di belakangnya."[29]

Dari 'A`isyah -radhiyallahu 'anha-, dia berkata: "Pada waktu perang Tabuk Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- ditanya tentang sutrahnya orang yang shalat, maka beliau menjawab: "Tiang setinggi pelana.""[30]

Dan dari Abu Dzar radhiallahu'anhu, dia berkata: Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda: ((إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي، فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ آخِرَةِ الرَّحْلِ. فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلاَتَهُ الْحِمَارُ وَالمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ اْلأَسْوَدِ))
artinya:
"Jika salah seorang dari kalian berdiri melakukan shalat, maka sesungguhnya dia telah tertutupi jika di hadapannya ada tiang setinggi pelana. Jika tidak ada tiang setinggi pelana di hadapannya, maka shalatnya akan diputus oleh keledai atau perempuan atau anjing hitam."[31]

Para ulama berpendapat, bahwa mengakhirkan penjelasan di waktu yang dibutuhkan itu tidak boleh. Dan sesungguhnya Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- hanya ditanya tentang sutrah yang mencukupi, maka seandainya kurang dari (ukuran) mencukupi, tentu tidak boleh mengakhirkan penjelasan pada saat dibutuhkan.[32]

Ukuran panjang pelana adalah sepanjang (satu) hasta. Sebagaimana yang dijelaskan oleh 'Atha`, Qatadah, ats-Tsaury serta Nafi' radhiallahu'anhuma.[33] Sehasta adalah ukuran di antara ujung siku sampai ke ujung jari tengah.[34] Dan ukurannya kurang lebih: 46,2 cm.[35]

Telah tetap, bahwa Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- shalat menghadap ke tombak kecil dan lembing. Sebagaimana diketahui keduanya adalah benda yang menunjukkan kecilnya tempat dan ini menguatkan, bahwa yang dimaksud menyamakan sutrah dengan hasta adalah pada sisi panjangnya bukan lebarnya.

Ibnu Khuzaimah berkata: "Dalil dari pengabaran Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- tersebut, bahwa sesungguhnya yang beliau inginkan dengan sutrah seperti pelana adalah panjangnya bukan lebarnya, yang tegak lagi kokoh. Di antaranya terdapat riwayat dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, bahwa beliau menancapkan tombak kecil untuknya, lalu beliau shalat menghadap kepadanya. Padahal lebarnya tombak itu kecil tidak seperti lebarnya pelana."[36]

Dia berkata juga: "Perintah Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- membuat sutrah (pembatas) dengan anak panah di dalam shalat, maka hal itu sesuatu yang nyata dan tetap, bahwa beliau -shallallahu 'alaihi wasallam- menginginkan dalam perintah tersebut adalah sesuatu yang ukuran panjangnya sama seperti pelana, bukan panjang dan lebarnya secara keseluruhan."[37]

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka: Tidak boleh membuat sutrah dengan garis dalam keadaan dia mampu membuat dengan lainnya, meskipun sutrah itu berupa: tongkat, barang, kayu, atau tanah. Walaupun dia harus mengumpulkan batu-batuan, lalu menyusunnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Salamah bin al-Akwa` -radhiyallahu 'anhu-.

Dan yang sangat pantas disebutkan adalah: Hadist tentang menjadikan garis sebagai sutrah adalah dha'if. Telah didha'ifkan oleh Sufyan bin Uyainah, asy-Syafi'i, al-Baghawy dan lainnya radhiallahu'anhuma. Ad-Daruquthni radhiallahu'anhu berkata: "Tidak sah dan tidak tetap." Asy-Syafi'i rahimahullah berkata dalam Sunan Harmalah: "Seorang yang shalat tidak boleh membuat garis di depannya, kecuali ada hadits yang tetap tentang hal itu, maka hadits itu diikuti."

Malik rahimahullah telah berkata dalam al-Mudawanah: "Garis itu bathil." Dan hadits itu telah dilemahkan oleh ulama yang datang di masa akhir, seperti Ibnu Shalah, an-Nawawi, al-Iraqi serta yang lainnya.[38]

Setelah ini maka dikatakan:
4. Dalam shalat berjama'ah, makmum itu tidak wajib membuat sutrah sendiri, sebab sutrah dalam shalat berjama'ah itu terletak pada sutrahnya imam.
Janganlah seseorang beranggapan, bahwa setiap orang yang shalat (dalam shalat berjama'ah) sutrahnya itu adalah orang yang shalat yang ada di depannya. Sesungguhnya hal itu tidak ada, walaupun pada shaf yang pertama, sehingga dengan demikian tidak mengharuskan makmum untuk pencegahan orang yang ingin lewat di hadapannya. Sedangkan dalilnya sebagai berikut:

Dari Ibnu 'Abbas radhiallahu'anhu, dia berkata: "Saya dan Fudhail datang dengan mengendarai keledai betina dan Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- berada di Arafah. Maka kami melewati sebagian shaf, kemudian kami turun dan kami tinggalkan keledai itu merumput. Lalu kami masuk shalat bersama Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam-. Setelah itu beliau -shallallahu 'alaihi wasallam- tidak berkata sepatah kata pun kepada kami."[39]

Dalam satu riwayat: "Sesungguhnya keledai betina itu melewati di depan sebagian shaf yang pertama."[40]

Ketika Ibnu 'Abbas dan Fudhail radhiallahu'anhum di atas keledai betina lewat di depan shaf yang pertama, tidak ada satupun sahabat yang menolak keduanya dan keledai betina itupun juga tidak ditolak, kemudian tidak ada seseorang yang mengingkari mereka atas perbuatannya tersebut, demikian pula Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-.

Jika ada seseorang yang berkata: "Mungkin Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- tidak mengetahui yang demikian itu!!"
Maka dikatakan kepadanya: "Jika Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- tidak melihat kepada keduanya dari sampingnya, maka beliau melihat keduanya dari belakangnya. Sesungguhnya beliau -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:

((هَلْ تَرَوْنَ قِبْلَتِي هَا هُنَا، فَوَاللهِ لاَ يَخْفَى عَلَيَّ خُشُوْعَكُمْ وَلاَ رُكُوْعَكُمْ، فَإِنِّي لأَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي))
artinya:
"Apakah kalian melihat kiblatku di sini, demi Allah kekhusyu'an dan ruku' kalian tidak ada yang tersembunyi bagiku. Sesungguhnya saya melihat kalian dari belakang punggungku."[41]
Ibnu Abdil Bar rahimahullah berkata: "Hadits Ibnu 'Abbas ini memberi kekhususan kepada hadits Abu Sa'id: "Jika ada salah seorang dari kalian shalat, maka janganlah dia membiarkan seseorang melewati di depannya," yang demikian itu khusus bagi imam dan orang yang shalat sendirian. Adapun untuk makmum, orang yang lewat di depannya tidak membahayakannya, berdasarkan hadits Ibnu 'Abbas ini."

Selanjutnya dia (Ibnu Abdil Bar) rahimahullah berkata: "Tidak ada perselisihan di antara para ulama terhadap perkara ini."[42]

Dari sini bisa diketahui: "Sesungguhnya shalat berjama'ah adalah seseorang shalat dengan beberapa orang, bukannya shalat dengan jumlah orang yang ada di dalamnya. Oleh karena itu shalat jama'ah tersebut cukup dengan satu sutrah. Kalau shalat berjama'ah itu pengertiannya beberapa shalat, tentunya setiap orang yang ada di dalamnya butuh sutrah."[43]

5. Jika seorang Imam tidak membuat sutrah, maka sesungguhnya dia telah menjelekkan shalatnya dan sikap meremehkan itu hanya dari dia.
Sedangkan bagi setiap makmum tidaklah wajib membuat sutrah untuk dirinya dan (tidak wajib) menahan orang yang melewatinya.[44]

6. Apabila makmum masbuk (terlambat) berdiri untuk menyelesaikan raka'at yang tertinggal bersama Imam, sehingga dia keluar dari status sebagai makmum, maka apa yang dia lakukan?

Al-Imam Malik berkata: "Seseorang yang menyelesaikan shalatnya setelah imam salam tidak mengapa dia menuju ke salah satu tiang yang terdekat dengannya, baik yang ada di depan, sebelah kanan, sebelah kiri ataupun di belakangnya. Dengan mundur ke belakang sedikit, dia menjadikannya sebagai pembatas (sutrah), jika tiang itu dekat. Jika jauh, maka dia tetap berdiri di tempat semula, dan menolak orang yang lewat semampunya."[45]

Ibnu Rusyd berkata: "Jika dia berdiri untuk menyelesaikan raka'at shalatnya yang terputus, jika dia dekat dengan tiang, berjalanlah menuju kepadanya dan itu menjadi sutrah baginya untuk raka'at yang tersisa. Jika tidak ada tiang yang dekat, maka dia shalat sebagaimana keadaannya dan berusaha menolak orang yang lewat di depannya semampunya. Barangsiapa yang lewat di depan orang yang sholat tersebut, maka dia berdosa. Adapun orang yang lewat di antara shaf-shafnya kaum yang shalat bersama imam, maka tidak ada dosa baginya dalam hal ini, karena imam adalah sutrah untuk mereka. Hanya pada Allah-lah taufik tersebut."[46]

Inilah yang dikatakan oleh al-Imam Malik dan diikuti oleh Ibnu Rusydi rahimahullah, yang tidak pantas untuk diselisihi. Sebab, seorang makmum masbuk yang memasuki shalat sebagaimana yang diperintahkan dan pada saat itu tidak ada sutrah baginya, maka keadaannya seperti orang yang menjadikan binatang ternaknya sebagai sutrah, lalu binatang itu lepas. Keadaan dia yang demikian ini tidaklah digolongkan sebagai orang yang meremehkan perintah menegakkan sutrah.

Akan tetapi, jika dia mempunyai kemudahan membuat sutrah, agar tidak menjatuhkan orang yang lewat ke dalam dosa, maka dia wajib membuat sutrah. Jika tidak mudah baginya untuk membuat sutrah, maka dia berusaha menolak orang yang melewati depannya."[47] ***

------------------------------------------------------------------------------
Sumber: Terjemahan kitab Al Qaulul Mubin, edisi bahasa Indonesia : "Koreksi atas Kekeliruan Praktek Ibadah Shalat", hal 75-88. Dicetak oleh Maktabah Salafy Press, cetakan pertama, Dzulqa'idah 1423 H.

footnotes:

[1] Telah dikeluarkan oleh Muslim di dalam ash-Shahih.

[2] Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (1/279), Abu Dawud di dalam as-Sunan no. (297), Ibnu Majah di dalam as-Sunan no. (954), Ibnu Hibban di dalam ash-Shahih (4/ 48-49 al-Ihsan), al-Baihaqi di dalam as-Sunanul-Kubra (2/ 267). Dan sanadnya hasan.

[3] Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (1/ 279), Ahmad di dalam al-Musnad (4/ 2), ath-Thayalisi di dalam al-Musnad no. (379), al-Humaidi di dalam al-Musnad (1/ 196), Abu Dawud di dalam as-Sunan no. (695), an-Nasa`i di dalam al-Mujtaba (2/ 62), Ibnu Khuzaimah di dalam ash-Shahih no. (803), Ibnu Hibban di dalam ash-Shahih (4/ 49), ath-Thahawi dalam Syarhul-Ma'ani al-Atsar (1/ 458), ath-Thabrani di dalam al-Mu'jamul-Kabir (6/ 119), al-Hakim di dalam al-Mustadrak (1/ 251), al-Baihaqi di dalam as-Sunanul Kubra (2/ 272) dan hadits tersebut shahih.

[4] Ini lafadz Ibnu Khuzaimah.

[5] Nailul Authar (3/ 2).

[6] As-Sailul Jarraar (1/ 176).

[7] Tamamul Minnah (hlm. 300).

[8] Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya (1/ 577-dengan al-Fath) secara ta'liq dengan Shighah Jazm dan di-washalkannya oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (2/ 370).

[9] Fathul Baari (1/ 577)

[10] Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (1/ 279) dengan sanad yang shahih.

[11] Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (2/ 61), al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (2/ 285) dan dia shahih.

[12] Ahkamus Sutrah fi Makkah wa Ghairiha (hlm. 13-14), Penerbit Daar Ibnul Qayyim Dammam.

[13] Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (503).

[14] Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (625).

[15] Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (1/ 279), dengan sanad shahih.

[16] Telah dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (2/ 9) dan dalam sanadnya ada kelemahan dan didukung oleh sebelumnya.

[17] Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (1/ 278).

[18] Nailul Authar (3/ 6).

[19] Syarah Tsulatsiyaat al-Musnad (2/ 786).

[20] Tamamul Minnah (hlm. 304).

[21] Riwayat haditsnya dha'if (lemah), sebagaimana telah diperingatkan atasnya oleh al-Albani -rahimahullah- di dalam Tamamul Minnah (hlm. 305) dan beliau berkata: "Riwayat itu telah dikeluarkan dalam kitabku: al-Ahadits adh-Dha'ifah, no. (5814) bersama hadits-hadits yang lain dengan maknanya."

[22] Shahih Ibnu Khuzaimah (2/ 27-28).

[23] Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam ash-Shahih no. (76)(493)(861)(1857)(4412), Ahmad dalam al-Musnad (1/ 342), Malik dalam al-Muwaththa' (1/ 131) dan selain mereka.

[24] Telah dikeluarkan oleh Ahmad di dalam al-Musnad (1/ 243), Ibnu Khuzaimah dalam ash-Shahih (840), ath-Thabrani dalam al-Mu'jamul Kabir (11/ 243) dan sanadnya Ahmad hasan.

[25] Al-Jauharun-Naqi (2/ 273). Dan lihat bantahan yang lain dalam: Ahkamu as-Sutrah (hlm. 88 dan setelahnya).

[26] Lihat sandaran orang yang mengatakan, bahwa di Mekkah tidak ada sutrah, bahwasanya dibolehkan –di sana- berjalan melewati di hadapan orang-orang yang sedang shalat dan bantahan akan pernyataan ini terdapat dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha'ifah wal-Maudhu'ah, no. (928) dan kitab Ahkam as-Sutrah fi Makkah wa Ghairiha (hlm. 46-48)(120-126) dan mengaitkan orang yang lewat di depan orang yang shalat dengan keadaan darurat merupakan perkara yang sifatnya sebagai alternatif, khususnya ketika berada di dalam keadaan yang sangat berdesak-desakan. Telah berkata tentangnya al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Fath (1/ 576) dan az-Zarqani dalam Syarahnya atas Mukhtashar Khalil (1/ 209). Wallahu A'lam.

[27] Lihat, misalnya di dalam: Zaadul Ma'aad (1/ 305).

[28] Ahkam as-Sutrah (hlm. 450).

[29] Telah dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. (499).

[30] Telah dikeluarkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya no. (500).

[31] Telah dikeluarkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya no. (510).

[32] Ahkam as-Sutrah (hlm 29).

[33] Lihat: Mushannaf Abdurrazzaq (2/ 9, 14, 15), Shahih Ibnu Khuzaimah no. (807), Sunan Abu Dawud no. (686).

[34] Lisanul 'Arab (3/ 1495).

[35] Mu'jam Lughatul Fuqahaa' (hlm. 450-451).

[36] Shahih Ibnu Khuzaimah (2/ 12).

[37] Rujukan yang lalu.

[38] Lihat: Tamamul Minnah (hlm. 300-302), Ahkam as-Sutrah (hlm. 98-102), Syarah an-Nawawi atas Shahih Muslim (4/ 216), Tahdzib at-Tahdzib (12/ 199), Tarjamah (Abi 'Amr bin Muhammad bin Harits).

[39] Telah dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. (504).

[40] Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (1857).

[41] Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (418), (471) dan pembicaraan yang lalu dari Ahkam as-Sutrah (hlm. 22).

[42] Fathul Baari (1/ 572).

[43] Faidhul Qadir (2/ 77).

[44] Lihat: Ahkam as-Sutrah (hlm. 21-22).

[45] Syarah az-Zarqaani 'ala Mukhtashar Khalil (1/ 208).

[46] Fatawa Ibnu Rusyd (2/ 904).

[47] Ahkam as-Sutrah (hlm. 26-27).

(Dikutip dari http://salafy.iwebland.com/baca.php?id=27, terjemahan kitab Al Qaulul Mubin, edisi bahasa Indonesia "Koreksi atas Kekeliruan Praktek Ibadah Shalat", karya Syaikh Abu 'Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Salman, judul "Kesalahan Orang-orang yang Shalat dalam Menghadap ke Sutrah", hal 75-88. Dicetak oleh Maktabah Salafy Press, cetakan pertama, Dzulqa'idah 1423 H)

Minggu, 24 Oktober 2010

Apakah kita sudah bertaqwa

Segala puji bagi Allah, Dzat yang paling berhak untuk kita takuti dan tempat kita memohon ampunan. Salawat dan keselamatan semoga terus tercurah kepada teladan terbaik, seorang hamba yang telah diampuni dosa-dosanya namun senantiasa beristighfar dan bertaubat kepada-Nya minimal tujuh puluh kali setiap harinya, semoga keselamatan juga terlimpah kepada para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.

Taqwa merupakan sebab keberuntungan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bertaqwalah kalian kepada Allah, mudah-mudahan kalian beruntung.” (QS. al-Baqarah: 189 lihat juga QS. Ali Imran: 130 dan 200). Ini artinya, barangsiapa yang tidak bertaqwa kepada Allah maka dia tidak menempuh jalan yang akan mengantarkan dirinya menuju keberuntungan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 88).

Hal ini -keberuntungan bagi orang yang bertaqwa- adalah sesuatu yang sangat wajar dan mudah dipahami, karena orang yang bertaqwa akan mendapatkan pertolongan dan pembelaan dari Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah senantiasa bersama dengan orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang suka berbuat ihsan/kebaikan.” (QS. an-Nahl: 128). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Bertaqwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah akan senantiasa bersama dengan orang-orang yang bertaqwa.” (QS. al-Baqarah: 194). Yang dimaksud dengan kebersamaan Allah di sini adalah pertolongan dan pembelaan serta taufik dari-Nya, sebuah kebersamaan yang khusus bagi para rasul dan pengikut setia mereka (lihat Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyah oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, hal. 38, lihat juga Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 90)

Orang paling faqih/paham agama dalam pandangan ulama salaf adalah orang yang paling bertaqwa. Suatu ketika, Sa’ad bin Ibrahim rahimahullah ditanya mengenai siapakah orang yang paling faqih di antara penduduk Madinah? Maka beliau menjawab, “Yaitu orang yang paling bertaqwa di antara mereka.” Sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayim dalam Miftah Dar as-Sa’adah (lihat Ta’liqat Risalah Lathifah oleh Abul Harits at-Ta’muri, hal. 44). Lalu apakah pengertian taqwa? Thalq bin Habib rahimahullah mengatakan, “Taqwa adalah kamu mengerjakan ketaatan kepada Allah dengan bimbingan cahaya dari Allah dengan mengharap pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan kemaksiatan kepada Allah dengan bimbingan cahaya dari Allah disertai rasa takut akan siksaan dari Allah.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/222])

Namun, mewujudkan ketaqwaan tak semudah mengucapkannya. Karena ia membutuhkan ketekunan dan kesabaran serta ketelitian dalam mengoreksi diri dan berjuang untuk memperbaikinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama, “Tidaklah seseorang itu bisa menjadi orang yang bertaqwa sampai dia menjadi orang yang sangat perhitungan terhadap dirinya sendiri melebihi ketelitian seorang pengusaha terhadap rekan usahanya, dan juga sampai dia bisa mengetahui darimanakah pakaiannya (halal atau haram), tempat makan dan minumnya.” (lihat Ma’alim fi Thariq Thalab al-’Ilm, oleh Syaikh Abdul Aziz as-Sad-han hafizhahullah, hal. 117).

Oleh sebab itu juga, tidak semestinya seorang larut dengan pujian yang dialamatkan orang lain kepada dirinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama, “Orang yang berakal adalah yang mengenali jati dirinya sendiri dan tidak tertipu oleh pujian orang-orang yang tidak mengerti seluk-beluk -kekurangan- dirinya.” (lihat Ma’alim fi Thariq Thalab al-’Ilm, hal. 118). Perhatikanlah apa yang diucapkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu tatkala mendengar orang-orang memuji-muji dirinya. Beliau justru berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau lebih mengetahui diriku daripada aku sendiri, dan aku lebih mengetahui diriku daripada mereka, maka ya Allah jadikanlah aku lebih baik daripada apa yang mereka sangka, dan jangan Engkau hukum aku gara-gara ucapan mereka, dan dengan rahmat-Mu maka ampunilah keburukan yang tidak mereka ketahui -pada diriku-.” (lihat Ma’alim fi Thariq Thalab al-’Ilm, hal. 119).

Salah satu cara untuk mengoreksi diri adalah dengan mengambil pelajaran dari kesalahan-kesalahan yang menimpa orang lain, yaitu dengan mencari tahu sebab-sebab yang mengantarkan mereka terjatuh ke dalam kesalahan tersebut (lihat Ma’alim fi Thariq Thalab al-’Ilm, hal. 120). Sehingga, orang yang berbahagia adalah yang bisa memetik pelajaran dari kejadian yang menimpa orang lain, bukan justru dia sendiri yang menjadi bahan pelajaran bagi orang-orang di sekelilingnya akibat kekeliruan yang dilakukannya. Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Sesungguhnya orang yang berbahagia itu adalah yang bisa memetik nasehat dari kejadian yang menimpa orang lain.” (al-Fawa’id, hal. 140)

Salah seorang pembesar tabi’in serta tokoh ahli ibadah bernama Mutharrif bin Abdullah bin asy-Syikhkhir rahimahullah berdoa kepada Allah, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu agar jangan sampai ada orang lain yang lebih berbahagia dengan ilmu yang Kau ajarkan kepadaku daripada diriku sendiri, dan aku berlindung kepada-Mu agar jangan sampai aku menjadi bahan pelajaran bagi orang selain diriku.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengomentari doa ini, “Ini adalah termasuk doa yang paling bagus.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amalu oleh Syaikh Prof. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr hafizhahullah, hal. 20)

Dari sini, kita bisa mengetahui betapa besar peran muhasabah/introspeksi diri dalam mewujudkan ketaqwaan di dalam diri kita. Tidak mengherankan jika Allah ta’ala menyebutkan kedua perkara ini secara beriringan untuk mengingatkan kita tentang keterkaitan yang erat antara keduanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang sudah dia persiapkan untuk menyambut hari esok (hari kiamat). Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha teliti terhadap segala amalan yang kalian kerjakan.” (QS. al-Hasyr: 18)

Sementara, kita semua tahu bahwasanya pada hari kiamat kelak banyaknya harta dan keturunan tidak akan memberikan manfaat sama sekali, kecuali bagi orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat dari gelapnya syubhat dan kotornya syahwat. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari itu -hari kiamat- tidak bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara’: 88-89). Maka ketaqwaan yang hakiki adalah ketaqwaan yang berakar dari dalam lubuk hati, bukan sekedar ucapan yang indah dan penampilan yang mengagumkan. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ketaqwaan yang hakiki adalah ketaqwaan dari dalam hati bukan semata-mata ketaqwaan dengan anggota badan.” (al-Fawa’id, hal. 136). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu, barangsiapa yang mengagungkan perintah-perintah Allah, sesungguhnya hal itu lahir dari ketaqwaan di dalam hati.” (QS. al-Hajj: 32). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Tidak akan sampai kepada Allah daging maupun darahnya (kurban), akan tetapi yang akan sampai kepada-Nya adalah ketaqwaan dari kalian.” (QS. al-Hajj: 37).


Pertanyaan paling mendasar bagi kita sekarang adalah, “Apakah kita masih memiliki hati?”. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Carilah hatimu pada tiga tempat; ketika mendengarkan bacaan al-Qur’an, pada saat berada di majelis-majelis dzikir/ilmu, dan saat-saat bersendirian. Apabila kamu tidak berhasil menemukannya pada tempat-tempat ini, maka mohonlah kepada Allah untuk mengaruniakan hati kepadamu, karena sesungguhnya kamu sudah tidak memiliki hati -yang hidup- lagi.” (al-Fawa’id, hal. 143). Allahul musta’aan…

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id