Minggu, 24 Oktober 2010

Apakah kita sudah bertaqwa

Segala puji bagi Allah, Dzat yang paling berhak untuk kita takuti dan tempat kita memohon ampunan. Salawat dan keselamatan semoga terus tercurah kepada teladan terbaik, seorang hamba yang telah diampuni dosa-dosanya namun senantiasa beristighfar dan bertaubat kepada-Nya minimal tujuh puluh kali setiap harinya, semoga keselamatan juga terlimpah kepada para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.

Taqwa merupakan sebab keberuntungan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bertaqwalah kalian kepada Allah, mudah-mudahan kalian beruntung.” (QS. al-Baqarah: 189 lihat juga QS. Ali Imran: 130 dan 200). Ini artinya, barangsiapa yang tidak bertaqwa kepada Allah maka dia tidak menempuh jalan yang akan mengantarkan dirinya menuju keberuntungan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 88).

Hal ini -keberuntungan bagi orang yang bertaqwa- adalah sesuatu yang sangat wajar dan mudah dipahami, karena orang yang bertaqwa akan mendapatkan pertolongan dan pembelaan dari Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah senantiasa bersama dengan orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang suka berbuat ihsan/kebaikan.” (QS. an-Nahl: 128). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Bertaqwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah akan senantiasa bersama dengan orang-orang yang bertaqwa.” (QS. al-Baqarah: 194). Yang dimaksud dengan kebersamaan Allah di sini adalah pertolongan dan pembelaan serta taufik dari-Nya, sebuah kebersamaan yang khusus bagi para rasul dan pengikut setia mereka (lihat Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyah oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, hal. 38, lihat juga Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 90)

Orang paling faqih/paham agama dalam pandangan ulama salaf adalah orang yang paling bertaqwa. Suatu ketika, Sa’ad bin Ibrahim rahimahullah ditanya mengenai siapakah orang yang paling faqih di antara penduduk Madinah? Maka beliau menjawab, “Yaitu orang yang paling bertaqwa di antara mereka.” Sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayim dalam Miftah Dar as-Sa’adah (lihat Ta’liqat Risalah Lathifah oleh Abul Harits at-Ta’muri, hal. 44). Lalu apakah pengertian taqwa? Thalq bin Habib rahimahullah mengatakan, “Taqwa adalah kamu mengerjakan ketaatan kepada Allah dengan bimbingan cahaya dari Allah dengan mengharap pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan kemaksiatan kepada Allah dengan bimbingan cahaya dari Allah disertai rasa takut akan siksaan dari Allah.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/222])

Namun, mewujudkan ketaqwaan tak semudah mengucapkannya. Karena ia membutuhkan ketekunan dan kesabaran serta ketelitian dalam mengoreksi diri dan berjuang untuk memperbaikinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama, “Tidaklah seseorang itu bisa menjadi orang yang bertaqwa sampai dia menjadi orang yang sangat perhitungan terhadap dirinya sendiri melebihi ketelitian seorang pengusaha terhadap rekan usahanya, dan juga sampai dia bisa mengetahui darimanakah pakaiannya (halal atau haram), tempat makan dan minumnya.” (lihat Ma’alim fi Thariq Thalab al-’Ilm, oleh Syaikh Abdul Aziz as-Sad-han hafizhahullah, hal. 117).

Oleh sebab itu juga, tidak semestinya seorang larut dengan pujian yang dialamatkan orang lain kepada dirinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama, “Orang yang berakal adalah yang mengenali jati dirinya sendiri dan tidak tertipu oleh pujian orang-orang yang tidak mengerti seluk-beluk -kekurangan- dirinya.” (lihat Ma’alim fi Thariq Thalab al-’Ilm, hal. 118). Perhatikanlah apa yang diucapkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu tatkala mendengar orang-orang memuji-muji dirinya. Beliau justru berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau lebih mengetahui diriku daripada aku sendiri, dan aku lebih mengetahui diriku daripada mereka, maka ya Allah jadikanlah aku lebih baik daripada apa yang mereka sangka, dan jangan Engkau hukum aku gara-gara ucapan mereka, dan dengan rahmat-Mu maka ampunilah keburukan yang tidak mereka ketahui -pada diriku-.” (lihat Ma’alim fi Thariq Thalab al-’Ilm, hal. 119).

Salah satu cara untuk mengoreksi diri adalah dengan mengambil pelajaran dari kesalahan-kesalahan yang menimpa orang lain, yaitu dengan mencari tahu sebab-sebab yang mengantarkan mereka terjatuh ke dalam kesalahan tersebut (lihat Ma’alim fi Thariq Thalab al-’Ilm, hal. 120). Sehingga, orang yang berbahagia adalah yang bisa memetik pelajaran dari kejadian yang menimpa orang lain, bukan justru dia sendiri yang menjadi bahan pelajaran bagi orang-orang di sekelilingnya akibat kekeliruan yang dilakukannya. Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Sesungguhnya orang yang berbahagia itu adalah yang bisa memetik nasehat dari kejadian yang menimpa orang lain.” (al-Fawa’id, hal. 140)

Salah seorang pembesar tabi’in serta tokoh ahli ibadah bernama Mutharrif bin Abdullah bin asy-Syikhkhir rahimahullah berdoa kepada Allah, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu agar jangan sampai ada orang lain yang lebih berbahagia dengan ilmu yang Kau ajarkan kepadaku daripada diriku sendiri, dan aku berlindung kepada-Mu agar jangan sampai aku menjadi bahan pelajaran bagi orang selain diriku.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengomentari doa ini, “Ini adalah termasuk doa yang paling bagus.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amalu oleh Syaikh Prof. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr hafizhahullah, hal. 20)

Dari sini, kita bisa mengetahui betapa besar peran muhasabah/introspeksi diri dalam mewujudkan ketaqwaan di dalam diri kita. Tidak mengherankan jika Allah ta’ala menyebutkan kedua perkara ini secara beriringan untuk mengingatkan kita tentang keterkaitan yang erat antara keduanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang sudah dia persiapkan untuk menyambut hari esok (hari kiamat). Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha teliti terhadap segala amalan yang kalian kerjakan.” (QS. al-Hasyr: 18)

Sementara, kita semua tahu bahwasanya pada hari kiamat kelak banyaknya harta dan keturunan tidak akan memberikan manfaat sama sekali, kecuali bagi orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat dari gelapnya syubhat dan kotornya syahwat. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari itu -hari kiamat- tidak bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara’: 88-89). Maka ketaqwaan yang hakiki adalah ketaqwaan yang berakar dari dalam lubuk hati, bukan sekedar ucapan yang indah dan penampilan yang mengagumkan. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ketaqwaan yang hakiki adalah ketaqwaan dari dalam hati bukan semata-mata ketaqwaan dengan anggota badan.” (al-Fawa’id, hal. 136). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu, barangsiapa yang mengagungkan perintah-perintah Allah, sesungguhnya hal itu lahir dari ketaqwaan di dalam hati.” (QS. al-Hajj: 32). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Tidak akan sampai kepada Allah daging maupun darahnya (kurban), akan tetapi yang akan sampai kepada-Nya adalah ketaqwaan dari kalian.” (QS. al-Hajj: 37).


Pertanyaan paling mendasar bagi kita sekarang adalah, “Apakah kita masih memiliki hati?”. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Carilah hatimu pada tiga tempat; ketika mendengarkan bacaan al-Qur’an, pada saat berada di majelis-majelis dzikir/ilmu, dan saat-saat bersendirian. Apabila kamu tidak berhasil menemukannya pada tempat-tempat ini, maka mohonlah kepada Allah untuk mengaruniakan hati kepadamu, karena sesungguhnya kamu sudah tidak memiliki hati -yang hidup- lagi.” (al-Fawa’id, hal. 143). Allahul musta’aan…

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar