Rabu, 31 Maret 2010

Wahai para mujahidin…
Aku sama sekali tidak mengkhawatirkan banyaknya musuh kalian dan besarnya senjata mereka, aku tidak mengkhawatirkan kalian lantaran berkumpulnya seluruh kekuatan jahat memerangi kalian, atau sikap melemah-kan semangat dari saudara-saudara kalian sesama muslim di berbagai belahan dunia; yang aku khawatirkan justru dari diri kalian sendiri, aku khawatir kalian terkena penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati), merasa lemah dan kalah, kemudian banyak melakukan maksiat.
Kalian bisa mengambil pelajaran dari peristiwa perang Uhud, Alloh Ta‘ala berfirman:
“…sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan bermaksiat kepada perintah (Rosul) sesudah Alloh memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Alloh memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu…”
Ibnu Katsir berkata, “Tadinya keunggulan dan kemenangan berada di fihak Islam pada pagi harinya, tapi tatkala para pemanah bermaksiat dan sebagian pasukan merasa gagal, janji kemenanganpun tertunda, di mana datangnya kemenangan ini disyaratkan adanya keteguhan dan sikap taat.”
Peristiwa Uhud ini sungguh telah menorehkan peristiwa yang menakjubkan, antara lain: jumlah musuh tiga kali lipat lebih banyak daripada jumlah kaum muslimin, lalu Alloh memenangkan kaum muslimin di pagi hari; tapi tatkala mereka bermaksiat, Alloh timpakan musibah di sore hari.
Shahabat Jâbir Radhyilallohu ‘Anhu berkata, “Ketika perang Uhud, manusia bercerai berai dari sisi
Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam, yang tinggal menyertai beliau hanya 13 orang Anshor dan Tholhah.”
Dalam hadits Anas Radhyilallohu ‘Anhu ia berkata, “Ketika pecah perang Uhud, kaum muslimin tercerai berai. Maka Anas bin Nadhr berkata, ‘Ya Alloh, aku memohon udzur kepada-Mu dari perbuatan shahabat-shahabatku, dan aku berlepas diri kepada-Mu dari perbuatan orang-orang musyrik itu.’”
Dulu, setelah pulau Qibrish ditaklukkan, Abu `d-Darda’ duduk sambil menangis tatkala menyaksikan penduduknya menangis dan dalam kondisi kacau balau. Maka ada yang bertanya, “Wahai Abu `d-Darda’, apa yang membuatmu menangis di hari ketika Alloh memuliakan Islam?” beliau menjawab, “Celakalah kalian, alangkah rendahnya makhluk di sisi Alloh ketika mereka meninggalkan perintah-Nya, padahal mereka dulu adalah bangsa yang menang dan kuat, mereka meninggalkan perintah Alloh dan akhirnya menjadi seperti yang kalian lihat.”
(tarbiyah jihadiyah kontemporer II, abu Mus'ab Azzarqowy 6-8)

Mari bersabar.

SUPAYA TEGAR MENGHADAPI UJIAN
Mungkin akan ada yang bertanya, “Saya adalah seorang yang baru saja serius dalam berislam. Saya takut saya tidak bisa tegar dalam menghadapi berbagai cobaan, atau tidak sabar menghadapinya.”
Untuknya saya katakan, “Nabi saw berabda, ‘Barangsiapa yang berusaha untuk bersabar niscaya Allah akan menjadikannya sabar.’Juga, ‘Barangsiapa berusaha untuk selalu mengerjakan kebaikan niscaya Dia akan memberikannya, dan barangsiapa menjaga diri dari keburukan niscaya Dia akan menjaganya.”
Dus, siapa saja yang mengusahakan faktor-faktor kesabaran, niscaya Allah akan merizkikan sabar kepadanya. Dan barangsiapa mengusahakan faktor-faktor wahn, gelisah, dan kehinaan, niscaya Dia akan tertimpa sesuatu yang faktor-faktornya telah diusahakannya.
وَمَا ظَلَمَهُمُ اللهُ وَلَكِنْ كَانُوْا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُوْنَ
an-Nahl : 33
Untuk itu wahai saudaraku seislam, berusahalah untuk bersabar. Sabarkanlah diri Anda untuk masa tertentu, niscaya Anda akan mendapati diri Anda dalam keadaan sabar setelahnya. Bahkan bisa jadi telah menjadi pribadi yang ridla, insya Allah. Salah seorang salaf berkata, “Aku giring diriku kepada Allah dalam keadaan menangis. Aku terus menggiringnya sampai ia kembali kepadaku dalam keadaan tertawa.”
Adapun jika hal-hal yang melelahkan Anda semakin menghebat, ujian semakin bertambah, musibah semakin dahsyat, dan nafsu ammarah bis suu’ berbisik supaya Anda cenderung kepada dunia -meski sesaat- atau Anda dapati nafsu ammarah bis suu’ itu menyesatkan diri Anda, maka berusahalah terus untuk membinanya sampai ia benar-benar tunduk kepada Anda, menyerahkan semua urusannya kepada Anda, dan menjawab seruan dari Allah dalam keadaan ridla setelah sebelumnya ia membencinya ..
Jika Anda mulai menginginkan dunia katakan kepada diri Anda sendiri, “Wahai diri, sungguh kamu telah menghabiskan separuh lebih dari perjalananmu menuju Allah... sisanya hanyalah tinggal sedikit saja.... karenanya, bersabarlah di atasnya. Wahai diri... janganlah kamu sia-siakan amal shalih yang telah kau kerjakan, juga bangunmu di waktu malam dan siang, juga kelelahanmu selama bertahun-tahun di jalan Allah.. dalam masa yang hanya sebentar ini. Hanyasanya kesabaran ini tidak akan lama... Bersabarlah. Sesungguhnya kedudukan cobaan itu seperti tamu, ia pasti akan segera berlalu... Nikmat sekali memujinya di ruangan perjamuan di hadapan tuan rumah. Wahai kaki-kaki penopang kesabaran teruslah bergerak. Sungguh, tiada yang tersisa kecuali sedikit saja...”
Terhadap nafsunya seorang aktivis mestinya melakukan hal yang dilakukan oleh Bisyr al-Hafiy bersama salah seorang muridnya yang turut serta dalam salah satu safarnya. Saat itu si murid dilanda dahaga dalam perjalanannya. Ia minta kepada Bisyr, “Mari kita minum air sumur itu!” Bisyr menjawab, “Bersabarlah, sampai kita bertemu dengan sumur yang lain.” Lalu ketika keduanya telah sampai ke sumur berikutnya, Bisyr berkata lagi, “Sampai sumur berikutnya.” Begitulah, Bisyr terus mengatakan untuk bersabar sampai sumur berikutnya.... dan akhirnya ia katakan, “Demikianlah dunia itu akhirnya akan terhenti.”
Ibnu al-Jauziy berkata, “Inilah... fajar pahala mulai menjelang ... malam cobaan mulai menghilang.. sang pejalan disambut dengan pujian, hampir menuntaskan gulitanya malam... Matahari pahala tiada sedikit pun menghadirkan bayang-bayang hingga sang pejalan telah sampai ke rumah keselamatan.”1
Ada satu ungkapan dari Imam Ahmad yang sungguh sangat membuat saya terkagum-kagum. Ungkapan pendek yang membutuhkan tadabbur dan tafakkur yang panjang. Berulang-ulang beliau katakan, “Hanyasanya itu adalah makanan yang bukan makanan, minuman yang bukan minuman. Hanyasanya itu adalah hari-hari yang sedikit.”
Lalu, bersama nafsunya seorang aktivis harus itu merenung sejenak, dan berbicara kepadanya, “Tidakkah kau lihat, ahli dunia itu ditimpa musibah dan cobaan berlipat-lipat daripada musibah yang menimpamu. Padahal mereka tidak mendapatkan pahala untuk itu dan tidak pula diberi rizki oleh Allah yang berupa kesabaran. Dikala tertimpa musibah, kebanyakan mereka berada dalam kesempitan, kesusahan, kegelisahan, kegundahan, dan bahkan menjadi gila karena musibah itu... Pernahkah kau dengar ada sebuah mobil berisi satu keluarga lengkap yang tenggelam dan semua yang ada di dalamnya meninggal dunia? Bandingkan musibah yang menimpamu dengan musibah yang menimpa mereka! Sesungguhnya puncak musibah yang menimpamu adalah ... kamu dibunuh oleh musuh-musuhmu. Dan itu bukan musibah! Bukan! Itu adalah kemuliaan bagimu, dan bahkan itulah kehidupan yang paling berharga, paling mahal. Sesudah itu kamu tiada lagi merasakan derita atau pun luka. Ya... sebutir atau beberapa butir peluru yang menembus jasadmu... dan tiada rasa bagimu melainkan serasa dicubit, seperti dikatakan oleh Rasulullah saw.
Kemudian bertanyalah kepada nafsu, “Apa lagi yang bisa dilakukan oleh musuhmu kepadamu?! Memenjarakanmu sebulan, dua bulan, setahun, bertahun-tahun, atau bahkan seumur hidupmu? Sungguh adalah menjadi kemuliaan bagimu dengan dapat menghabiskan umurmu di jalan Allah. Adalah menjadi suatu kemuliaan bagimu dengan mengikuti jejak Yusuf as yang dipenjarakan selama beberapa tahun!”
Katakan juga kepada nafsu ammarah bis suu’ yang ada padamu, “Wahai nafsu, tidakkah kau lihat ribuan orang menjadi penghuni hotel prodeo karena bermaksiat kepada Allah?! Cukuplah menjadi suatu kemuliaan bagimu bahwa kamu ditimpa ujian karena ketaatanmu kepada Allah ‘azza wa jalla. Ada di antara mereka yang divonis hukuman mati karena memenuhi syahwat sesaat, memperkosa seorang gadis. Ada juga yang dipenjara seumur hidup karena memenuhi seruan setan, terperosok dalam dunia narkoba. Dan masih banyak lagi yang lainnya. Lalu pikirkan juga tentang ribuan pecinta dunia dan orang-orang kafir yang ditimpa musibah berupa cacat tetap (invalid) atau buta. Mereka semua jauh lebih menderita dibandingkan dengan dirimu. Musibah yang menimpa mereka beratus kali lipat jika dibandingkan dengan yang menimpa dirimu. Belum lagi jika beberapa bulan atau tahun ini justru menjadi sebab dari keberhasilanmu mencapai imamah fiddien, menggapai ma’rifatullah dan perintah-Nya, serta sampainya dirimu ke derajat ‘abidin (ahli ibadah), zahidin (orang-orang yang zuhud), dan khasyi’in (orang-orang yang khusyu’). Berapa banyak ikhwah yang baru merasakan hakekat bangun malam di kala kondisi benar-benar berat. Berapa banyak mereka yang baru memahami dan mengerti maksud dari ayat-ayat tertentu dan kedalaman hikmah yang ada di dalamnya pada kondisi yang berat pula, disamping dapat menghapal dan mengkaji tafsirnya. Semuanya masih ditambah dengan pencapaian terhadap satu derajat ilmiah yang tidak dapat dipelajari dari buku-buku dan literatur yang ada serta pemahaman terhadap makna-makna yang rasa manisnya tiada pernah dapat dikecap meski teks-teksnya dibaca, dikaji, atau pun dihapal. Itu seperti makna tawakkal, inabah, khasyyah, taubat, yaqin, dan ridla. Semoga Allah senantiasa merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang berkata, “Aku, surga dan tamanku ada di dalam dadaku, ke mana pun aku pergi ia selalu bersamaku, tidak meninggalkanku. Jika aku dipenjara, bagiku itu adalah khalwah. Jika aku dibunuh, bagiku itu adalah syahadah. Dan jika aku diusir dari negeriku, bagiku itu adalah siyahah, jalan-jalan.”
Hendaknya seorang aktivis mengucapkan perkataan Ibnul Jauziy yang mengadu kepada Rabbnya, “Betapa beruntungnya diriku atas apa yang direnggut dariku, ketika buahnya adalah aku bersimpuh di hadapan-Mu. Betapa lapangnya penawananku kala buahnya adalah aku berkhalwah dengan-Mu. Betapa kayanya diriku ketika aku faqir kepada-Mu. Betapa lembutnya diriku kala Engkau jadikan ciptaan-Mu berlaku zhalim kepadaku. Ah.. sia-sialah masa yang hilang bukan dalam rangka berkhidmah kepada-Mu, begitu pun waktu yang berlalu bukan dalam ketaatan kepada-Mu. Kala aku bangun menjelang fajar, tidurku sepanjang malam tidak lagi menyiksa diriku. Kala siang beranjak lepas, hilangnya seluruh hari itu tidak lagi melukaiku. Aku tidak tahu bahwa diriku yang mati rasa ini dikarenakan sakit yang dahsyat. Kini, hembusan angin kesejahteraan telah bertiup, aku telah dapat merasakan derita, dan aku tahu diriku kini sehat. Wahai Dzat yang Mahaagung anugerahnya, sempurnakanlah kesejahteraan bagi diriku.”
(dinukil dari Dien itu nasehat hal 6-11, publicated by DARUL BAWAR )