Segala puji bagi Allah, Dzat yang paling berhak untuk kita takuti dan tempat kita memohon ampunan. Salawat dan keselamatan semoga terus tercurah kepada teladan terbaik, seorang hamba yang telah diampuni dosa-dosanya namun senantiasa beristighfar dan bertaubat kepada-Nya minimal tujuh puluh kali setiap harinya, semoga keselamatan juga terlimpah kepada para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.
Taqwa merupakan sebab keberuntungan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bertaqwalah kalian kepada Allah, mudah-mudahan kalian beruntung.” (QS. al-Baqarah: 189 lihat juga QS. Ali Imran: 130 dan 200). Ini artinya, barangsiapa yang tidak bertaqwa kepada Allah maka dia tidak menempuh jalan yang akan mengantarkan dirinya menuju keberuntungan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 88).
Hal ini -keberuntungan bagi orang yang bertaqwa- adalah sesuatu yang sangat wajar dan mudah dipahami, karena orang yang bertaqwa akan mendapatkan pertolongan dan pembelaan dari Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah senantiasa bersama dengan orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang suka berbuat ihsan/kebaikan.” (QS. an-Nahl: 128). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Bertaqwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah akan senantiasa bersama dengan orang-orang yang bertaqwa.” (QS. al-Baqarah: 194). Yang dimaksud dengan kebersamaan Allah di sini adalah pertolongan dan pembelaan serta taufik dari-Nya, sebuah kebersamaan yang khusus bagi para rasul dan pengikut setia mereka (lihat Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyah oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, hal. 38, lihat juga Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 90)
Orang paling faqih/paham agama dalam pandangan ulama salaf adalah orang yang paling bertaqwa. Suatu ketika, Sa’ad bin Ibrahim rahimahullah ditanya mengenai siapakah orang yang paling faqih di antara penduduk Madinah? Maka beliau menjawab, “Yaitu orang yang paling bertaqwa di antara mereka.” Sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayim dalam Miftah Dar as-Sa’adah (lihat Ta’liqat Risalah Lathifah oleh Abul Harits at-Ta’muri, hal. 44). Lalu apakah pengertian taqwa? Thalq bin Habib rahimahullah mengatakan, “Taqwa adalah kamu mengerjakan ketaatan kepada Allah dengan bimbingan cahaya dari Allah dengan mengharap pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan kemaksiatan kepada Allah dengan bimbingan cahaya dari Allah disertai rasa takut akan siksaan dari Allah.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/222])
Namun, mewujudkan ketaqwaan tak semudah mengucapkannya. Karena ia membutuhkan ketekunan dan kesabaran serta ketelitian dalam mengoreksi diri dan berjuang untuk memperbaikinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama, “Tidaklah seseorang itu bisa menjadi orang yang bertaqwa sampai dia menjadi orang yang sangat perhitungan terhadap dirinya sendiri melebihi ketelitian seorang pengusaha terhadap rekan usahanya, dan juga sampai dia bisa mengetahui darimanakah pakaiannya (halal atau haram), tempat makan dan minumnya.” (lihat Ma’alim fi Thariq Thalab al-’Ilm, oleh Syaikh Abdul Aziz as-Sad-han hafizhahullah, hal. 117).
Oleh sebab itu juga, tidak semestinya seorang larut dengan pujian yang dialamatkan orang lain kepada dirinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama, “Orang yang berakal adalah yang mengenali jati dirinya sendiri dan tidak tertipu oleh pujian orang-orang yang tidak mengerti seluk-beluk -kekurangan- dirinya.” (lihat Ma’alim fi Thariq Thalab al-’Ilm, hal. 118). Perhatikanlah apa yang diucapkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu tatkala mendengar orang-orang memuji-muji dirinya. Beliau justru berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau lebih mengetahui diriku daripada aku sendiri, dan aku lebih mengetahui diriku daripada mereka, maka ya Allah jadikanlah aku lebih baik daripada apa yang mereka sangka, dan jangan Engkau hukum aku gara-gara ucapan mereka, dan dengan rahmat-Mu maka ampunilah keburukan yang tidak mereka ketahui -pada diriku-.” (lihat Ma’alim fi Thariq Thalab al-’Ilm, hal. 119).
Salah satu cara untuk mengoreksi diri adalah dengan mengambil pelajaran dari kesalahan-kesalahan yang menimpa orang lain, yaitu dengan mencari tahu sebab-sebab yang mengantarkan mereka terjatuh ke dalam kesalahan tersebut (lihat Ma’alim fi Thariq Thalab al-’Ilm, hal. 120). Sehingga, orang yang berbahagia adalah yang bisa memetik pelajaran dari kejadian yang menimpa orang lain, bukan justru dia sendiri yang menjadi bahan pelajaran bagi orang-orang di sekelilingnya akibat kekeliruan yang dilakukannya. Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Sesungguhnya orang yang berbahagia itu adalah yang bisa memetik nasehat dari kejadian yang menimpa orang lain.” (al-Fawa’id, hal. 140)
Salah seorang pembesar tabi’in serta tokoh ahli ibadah bernama Mutharrif bin Abdullah bin asy-Syikhkhir rahimahullah berdoa kepada Allah, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu agar jangan sampai ada orang lain yang lebih berbahagia dengan ilmu yang Kau ajarkan kepadaku daripada diriku sendiri, dan aku berlindung kepada-Mu agar jangan sampai aku menjadi bahan pelajaran bagi orang selain diriku.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengomentari doa ini, “Ini adalah termasuk doa yang paling bagus.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amalu oleh Syaikh Prof. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr hafizhahullah, hal. 20)
Dari sini, kita bisa mengetahui betapa besar peran muhasabah/introspeksi diri dalam mewujudkan ketaqwaan di dalam diri kita. Tidak mengherankan jika Allah ta’ala menyebutkan kedua perkara ini secara beriringan untuk mengingatkan kita tentang keterkaitan yang erat antara keduanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang sudah dia persiapkan untuk menyambut hari esok (hari kiamat). Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha teliti terhadap segala amalan yang kalian kerjakan.” (QS. al-Hasyr: 18)
Sementara, kita semua tahu bahwasanya pada hari kiamat kelak banyaknya harta dan keturunan tidak akan memberikan manfaat sama sekali, kecuali bagi orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat dari gelapnya syubhat dan kotornya syahwat. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari itu -hari kiamat- tidak bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara’: 88-89). Maka ketaqwaan yang hakiki adalah ketaqwaan yang berakar dari dalam lubuk hati, bukan sekedar ucapan yang indah dan penampilan yang mengagumkan. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ketaqwaan yang hakiki adalah ketaqwaan dari dalam hati bukan semata-mata ketaqwaan dengan anggota badan.” (al-Fawa’id, hal. 136). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu, barangsiapa yang mengagungkan perintah-perintah Allah, sesungguhnya hal itu lahir dari ketaqwaan di dalam hati.” (QS. al-Hajj: 32). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Tidak akan sampai kepada Allah daging maupun darahnya (kurban), akan tetapi yang akan sampai kepada-Nya adalah ketaqwaan dari kalian.” (QS. al-Hajj: 37).
Pertanyaan paling mendasar bagi kita sekarang adalah, “Apakah kita masih memiliki hati?”. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Carilah hatimu pada tiga tempat; ketika mendengarkan bacaan al-Qur’an, pada saat berada di majelis-majelis dzikir/ilmu, dan saat-saat bersendirian. Apabila kamu tidak berhasil menemukannya pada tempat-tempat ini, maka mohonlah kepada Allah untuk mengaruniakan hati kepadamu, karena sesungguhnya kamu sudah tidak memiliki hati -yang hidup- lagi.” (al-Fawa’id, hal. 143). Allahul musta’aan…
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Minggu, 24 Oktober 2010
Kamis, 21 Oktober 2010
Doa antara dua khutbah jumat
Umumnya, mengangkat tangan ketika berdoa' ini sunnah. Ini berdasarkan hadith Nabi saw, sabdanya :
إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ
"Sesungguhnya Allah yang Maha Mulia, apabila hambanya mengangkat tangan kpadanya, ia tidak akan menolak dengan tangan kosong" - Riwayat Al-Tirmudzi no: 3556, dikelaskan sebagai Sahih oleh al-Albani didalam Sahih al-Tirmudzi.
Akan tetapi, mengangkat tangan semasa berdo'a didalam Khutbah Jumaat bagi Khatib bukanlah sunnah untuk mengangkat tangannya. Ia hanya disunnahkan menunjuk dengan menggunakan jari telunjuk. Malah para sahabat mengutuklarang khatib mengangkat tangan ketika berdo'a.
Imam Muslim (874) dan Abu Daud (1104) telah meriwayatkan :
عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ أنه رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ (زاد أبو داود : وَهُوَ يَدْعُو فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ) فَقَالَ: ( قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ
"dari 'Umaarah ibn Ru'aibah melihat Bishr ibn Marwaan ketika diatas mimbar mengangkat tangan (Abu Daud menambah : apabila melakukan do'a pada hari Jumaat), dan berkata :'Semoga Allah menjadikan hodoh kedua-dua tangan. Aku melihat Rasulullah saw tidak menambah apa-apa melainkan seperti ini dengan tangannya' dan mengisyaratkan dengan jari telunjuknya."
Imam Al-Nawawi mengatakan :
فِيهِ أَنَّ السُّنَّة أَنْ لا يَرْفَع الْيَد فِي الْخُطْبَة وَهُوَ قَوْل مَالِك وَأَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ .
"Ini menunjukkan bahawa adalah sunnah TIDAK mengangkat tangan semasa berkhutbah dan ia adalah pandangan Malik dan yang lain-lain."
Ma'mum juga tidak digalakkan mengangkat tangan semasa Khatib membaca do'a, kerana ma'mum mengikut Imam.
Akan tetapi jika Imam berdo'a agar diturunkan hujan pada hari Jumaat semasa beliau diatas mimbar, maka adalah menjadi sunnah mengangkat tangan dan begitu juga keadaan ma'mumnya, disunatkan mengangkat tangan.
Muhaddith Sheikh Nasyiruddin Al-Albani didalam buku Bida' Al-Jumu'ah (ms 56-66)[1] telah menyatakan bahawa mengangkat tangan :
(دعاء الناس ورفع اليدين عند جلوس الإمام على المنبر بين الخطبتين.)
a. semasa Imam duduk diantara dua Khutbah (no:42)
(رفع القوم أيديهم تأمينا على دعائه.)
b. semasa ma'mum mengaminkan do'a khatib (no:63)
merupakan bid'ah-bid'ah yang biasa dilakukan oleh ma'mum yang menghadirkan diri didalam solat Jumaat.
Beberapa ulama' mengatakan bahawa adalah menjadi kesalahan orang-orang yang bersolat mengangkat tangan mereka bagi mengaminkan do'a Imam, dan disebut oleh Ibnu Abidin (Khaasiyah Abidin 11/143), sesungguhnya jika mereka melakukannya maka mereka dosa keatas yang sahih[2](إنهم إذا فعلوا ذلك أثموا على الصحيح).
Begitu jugalah halnya kepada mereka yang mengangkat tangan mereka tatkala Imam duduk diantara 2 khutbah.
Berdo'a didalam Khutbah Jumaat adalah disyara'kan thabit dari Nabi saw dimana ia mendoa'kan keatas mu'minin dan mu'minat. Didalam Fatwa no:6396, Faatwa Lajhah Daa'imah LilBuhtuth Al-Ilmiyah wa Al-Ifta' (8/233) mengatakan bahawa menyebut 'Amin' pada do'a tidaklah mengapa[3] (أما التلفظ بالتأمين على دعائه فلا بأس به؛).
Kesimpulannya ialah mengangkat tangan untuk berdo'a semasa Imam duduk antara 2 khutbah dan juga semasa Imam membaca do'a tidaklah terdapat didalam syara', malah ulama' mengatakan ia adalah perbuatan bid'ah. Do'a boleh dibaca pada masa Imam sedang duduk diantara 2 khutbah dengan secara perlahan (sir) tanpa mengangkat tangan dan 'Amin' boleh dibaca secara perlahan semasa Imam membaca do'a.
Wallahu 'alam
-wassalam-
--------------
Rujukan :
1. Sheikh Nasyiruddin Al-Albani. Bida' Al-Jumu'ah . Riyad : Maktabah Al-Maa'arif, 1996.
2. Abu Abidah Mashyur bin Hassan bin Sulaiman. Al-Qaul Al-Mubin fi Akhta' Al-Musolliin. Damaan : Dar Al-Qayyim, 1996. ms. 380.
3. Faatwa Lajhah Daa'imah LilBuhtuth Al-Ilmiyah wa Al-Ifta' - 8.cetakan ke 3. Riyad : Dar Al-Mu'id, 2000
sumber : http://qazikirdandoa.blogspot.com/2009/03/angkat-tangan-doa-antara-dua-khutbah.html
إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ
"Sesungguhnya Allah yang Maha Mulia, apabila hambanya mengangkat tangan kpadanya, ia tidak akan menolak dengan tangan kosong" - Riwayat Al-Tirmudzi no: 3556, dikelaskan sebagai Sahih oleh al-Albani didalam Sahih al-Tirmudzi.
Akan tetapi, mengangkat tangan semasa berdo'a didalam Khutbah Jumaat bagi Khatib bukanlah sunnah untuk mengangkat tangannya. Ia hanya disunnahkan menunjuk dengan menggunakan jari telunjuk. Malah para sahabat mengutuklarang khatib mengangkat tangan ketika berdo'a.
Imam Muslim (874) dan Abu Daud (1104) telah meriwayatkan :
عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ أنه رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ (زاد أبو داود : وَهُوَ يَدْعُو فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ) فَقَالَ: ( قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ
"dari 'Umaarah ibn Ru'aibah melihat Bishr ibn Marwaan ketika diatas mimbar mengangkat tangan (Abu Daud menambah : apabila melakukan do'a pada hari Jumaat), dan berkata :'Semoga Allah menjadikan hodoh kedua-dua tangan. Aku melihat Rasulullah saw tidak menambah apa-apa melainkan seperti ini dengan tangannya' dan mengisyaratkan dengan jari telunjuknya."
Imam Al-Nawawi mengatakan :
فِيهِ أَنَّ السُّنَّة أَنْ لا يَرْفَع الْيَد فِي الْخُطْبَة وَهُوَ قَوْل مَالِك وَأَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ .
"Ini menunjukkan bahawa adalah sunnah TIDAK mengangkat tangan semasa berkhutbah dan ia adalah pandangan Malik dan yang lain-lain."
Ma'mum juga tidak digalakkan mengangkat tangan semasa Khatib membaca do'a, kerana ma'mum mengikut Imam.
Akan tetapi jika Imam berdo'a agar diturunkan hujan pada hari Jumaat semasa beliau diatas mimbar, maka adalah menjadi sunnah mengangkat tangan dan begitu juga keadaan ma'mumnya, disunatkan mengangkat tangan.
Muhaddith Sheikh Nasyiruddin Al-Albani didalam buku Bida' Al-Jumu'ah (ms 56-66)[1] telah menyatakan bahawa mengangkat tangan :
(دعاء الناس ورفع اليدين عند جلوس الإمام على المنبر بين الخطبتين.)
a. semasa Imam duduk diantara dua Khutbah (no:42)
(رفع القوم أيديهم تأمينا على دعائه.)
b. semasa ma'mum mengaminkan do'a khatib (no:63)
merupakan bid'ah-bid'ah yang biasa dilakukan oleh ma'mum yang menghadirkan diri didalam solat Jumaat.
Beberapa ulama' mengatakan bahawa adalah menjadi kesalahan orang-orang yang bersolat mengangkat tangan mereka bagi mengaminkan do'a Imam, dan disebut oleh Ibnu Abidin (Khaasiyah Abidin 11/143), sesungguhnya jika mereka melakukannya maka mereka dosa keatas yang sahih[2](إنهم إذا فعلوا ذلك أثموا على الصحيح).
Begitu jugalah halnya kepada mereka yang mengangkat tangan mereka tatkala Imam duduk diantara 2 khutbah.
Berdo'a didalam Khutbah Jumaat adalah disyara'kan thabit dari Nabi saw dimana ia mendoa'kan keatas mu'minin dan mu'minat. Didalam Fatwa no:6396, Faatwa Lajhah Daa'imah LilBuhtuth Al-Ilmiyah wa Al-Ifta' (8/233) mengatakan bahawa menyebut 'Amin' pada do'a tidaklah mengapa[3] (أما التلفظ بالتأمين على دعائه فلا بأس به؛).
Kesimpulannya ialah mengangkat tangan untuk berdo'a semasa Imam duduk antara 2 khutbah dan juga semasa Imam membaca do'a tidaklah terdapat didalam syara', malah ulama' mengatakan ia adalah perbuatan bid'ah. Do'a boleh dibaca pada masa Imam sedang duduk diantara 2 khutbah dengan secara perlahan (sir) tanpa mengangkat tangan dan 'Amin' boleh dibaca secara perlahan semasa Imam membaca do'a.
Wallahu 'alam
-wassalam-
--------------
Rujukan :
1. Sheikh Nasyiruddin Al-Albani. Bida' Al-Jumu'ah . Riyad : Maktabah Al-Maa'arif, 1996.
2. Abu Abidah Mashyur bin Hassan bin Sulaiman. Al-Qaul Al-Mubin fi Akhta' Al-Musolliin. Damaan : Dar Al-Qayyim, 1996. ms. 380.
3. Faatwa Lajhah Daa'imah LilBuhtuth Al-Ilmiyah wa Al-Ifta' - 8.cetakan ke 3. Riyad : Dar Al-Mu'id, 2000
sumber : http://qazikirdandoa.blogspot.com/2009/03/angkat-tangan-doa-antara-dua-khutbah.html
Rabu, 20 Oktober 2010
tentang air
Air adalah zat, materi, atau unsur yang penting bagi semua bentuk kehidupan di Bumi. Air juga memberikan beberapa kontribusi penting bagi tubuh manusia, karena hampir setiap sel dalam tubuh manusia memerlukan.
Berikut ini adalah lima hal baik tentang air yang akan mendorong Anda untuk memulai kebiasaan baik dengan minum minimal delapan gelas per hari.
1. Air baik bagi perkembangan mental.
Delapan puluh persen jaringan otak terbuat dari air. Karena itu, air sangat penting untuk menjaga kandungan air bagi otak Anda. Uji klinis telah membuktikan bahwa dehidrasi mengurang kinerja otak, untuk menyimpan memori jangka pendek dan mengganggu konsentrasi.
2. Air dapat melindungi tubuh dari penyakit kronis.
Arthritis atau gangguan pada otot-otot atau jaringan-jaringan tubuh, kanker, dan penyakit jantung, adalah penyakit serius yang telah menyerang jutaan orang. Tidak perlu khawatir karena air dapat menjauhkan Anda dari penyakit-penyakit tersebut. Air bekerja seperti pelumas pada persendian, pembersih bagi saluran pencernaan, dan pengontrol kadar garam dalam tubuh.
3. Air dapat membantu Anda mengontrol berat badan.
Tidak hanya dapat menekan nafsu makan, air juga baik bagi metabolisme tubuh anda. Sebuah penelitian menemukan bahwa mengonsumsi enam cangkir air secara teratur selama setahun dapat melunturkan 2,4 kilogram lemak.
4. Air baik bagi kesehatan tubuh dan gigi.
Kerusakan gigi berasal dari penumpukan asam yang menggerogoti enamel gigi, tetapi liur dapat menetralkan asam ini. Selama kebutuhan tubuh akan air terpenuhi dengan baik, maka Anda akan memiliki air liur yang cukup untuk menetralkan tingkat keasaman dalam mulut Anda.
5. Minum terlalu banyak dapar menyebabkan rehidrasi berlebihan.
Walaupun air baik bagi kesehatan, tetapi jika dikonsumsi secara berlebihan. Karena tubuh akan mengalami rehidrasi berlebihan. Kondisi ini menjadikan tingkat natrium dalam tubuh menjadi tidak seimbang dan dapat mengakibatkan masalah pencernaan, kejang-kejang, bahkan koma. Tidak perlu panik akan jumlah air yang anda konsumsi, karena sesorang dapat terserang rehidrasi berlebihan jika ia minum dua galon air dalam sehari.(Askmen/DC/SHA)
Berikut ini adalah lima hal baik tentang air yang akan mendorong Anda untuk memulai kebiasaan baik dengan minum minimal delapan gelas per hari.
1. Air baik bagi perkembangan mental.
Delapan puluh persen jaringan otak terbuat dari air. Karena itu, air sangat penting untuk menjaga kandungan air bagi otak Anda. Uji klinis telah membuktikan bahwa dehidrasi mengurang kinerja otak, untuk menyimpan memori jangka pendek dan mengganggu konsentrasi.
2. Air dapat melindungi tubuh dari penyakit kronis.
Arthritis atau gangguan pada otot-otot atau jaringan-jaringan tubuh, kanker, dan penyakit jantung, adalah penyakit serius yang telah menyerang jutaan orang. Tidak perlu khawatir karena air dapat menjauhkan Anda dari penyakit-penyakit tersebut. Air bekerja seperti pelumas pada persendian, pembersih bagi saluran pencernaan, dan pengontrol kadar garam dalam tubuh.
3. Air dapat membantu Anda mengontrol berat badan.
Tidak hanya dapat menekan nafsu makan, air juga baik bagi metabolisme tubuh anda. Sebuah penelitian menemukan bahwa mengonsumsi enam cangkir air secara teratur selama setahun dapat melunturkan 2,4 kilogram lemak.
4. Air baik bagi kesehatan tubuh dan gigi.
Kerusakan gigi berasal dari penumpukan asam yang menggerogoti enamel gigi, tetapi liur dapat menetralkan asam ini. Selama kebutuhan tubuh akan air terpenuhi dengan baik, maka Anda akan memiliki air liur yang cukup untuk menetralkan tingkat keasaman dalam mulut Anda.
5. Minum terlalu banyak dapar menyebabkan rehidrasi berlebihan.
Walaupun air baik bagi kesehatan, tetapi jika dikonsumsi secara berlebihan. Karena tubuh akan mengalami rehidrasi berlebihan. Kondisi ini menjadikan tingkat natrium dalam tubuh menjadi tidak seimbang dan dapat mengakibatkan masalah pencernaan, kejang-kejang, bahkan koma. Tidak perlu panik akan jumlah air yang anda konsumsi, karena sesorang dapat terserang rehidrasi berlebihan jika ia minum dua galon air dalam sehari.(Askmen/DC/SHA)
Senin, 18 Oktober 2010
Muqoddimah kitab Tauhid
إن الحمد لله: نحمده، ونستعينه، ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا، ومن سيئات أعمالنا. من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، من يطع الله ورسوله فقد اهتدى ورشد، ومن يعص الله ورسوله فقد غوى وضل ضلالاً بعيداً.
وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن سيدنا وإمامنا وقدوتنا وشفيعنا وحبيب قلوبنا محمداً عبده ورسوله، وصفيه وخليله، وخيرته من خلقه.
{يا أيها الذين ءامنُوا اتقوا الله حق تُقاتهِ، ولاتموتن إلا وأنتم مسلمون}، (آل عمران؛ 3:102).
{يا أيُهَا النَاسُ اتقُوا ربكم الذى خلقكم من نفسٍ واحدةٍ، وخلق منها زوجَهَا، وبث مِنهُمَا رجالاً كثيرًا وِنسَاءً، واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام، إن الله كان عليكم رقيبًا}، (النساء؛ 4:1) .
{يا أيها الذين ءامنوا اتقوا الله، وقولوا قولاً سديدًا * يُصلح لكم أعَمَاَلَكُم، ويَغفِر لكم ذُنُوبَكُم، ومن يُطِعِ الله وَرسُولَهُ فقد فَاز فوزًا عظيمًا}، (الأحزاب؛ 33:70).
إن خير الحديث كتاب الله، وخير الهدي هدي محمد، صلى الله عليه وعلى آله وسلم، هو الأسوة الحسنة، نعم الأسوة، ونعم القدوة. وشر الأمور محدثاتها، وكل محدثه بدعة، وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار.
أما بعد: فهذه رسالة مختصرة عن أصل الإسلام، وحقيقة التوحيد، وأدلته من القرآن الكريم، ومما ثبت في السنة النبوية الشريفة، سميناها: «كتاب التوحيد: أصل الإسلام، وحقيقة التوحيد».
وكان الدافع إلي كتابتها أمور منها:
أولاً: مشكلة قديمة حول تعريف «العبادة» وعلاقتها بمفهوم «الإله»، ترتب عليها الحكم، بغير وجه حق، على الكثير من أهل القبلة بالشرك، ومفارقة الإسلام، والخروج من الملة. وهو أمر كبير خطير، من الأصول والمهمات، التي تحتاج إلى البرهان القاطع، والحجة اليقينية البالغة، ولا يجوز أن يكون من الاجتهاديات أو الخلافيات!
ثانياً: اضطراب، وعدم انضباط القسمة التقليدية للتوحيد إلى: «توحيد الربوبية»، و«توحيد الألوهية»، و«توحيد الأسماء والصفات». هذا الإضطراب له علاقة جوهرية بالمشكلة السابقة، فضلاً عن أنه تقسيم ضعيف، غير مقنع، ولا منتج، لأنه:
(أ) تقسيم غير منضبط لتداخل الأقسام،
(ب) وغير جامع لخروج أركان مهمة للتوحيد منها، كتوحيد «الحاكمية»، وتوحيد «الحب والموالاة»، ولا يمكن إدخالها إلا بتكلف، وبطريقة مصطنعة.
(ج) وغير مانع لدخول ما ليس من أصول التوحيد فيها، كأكثر مباحث «الصفات»، التي هي فرع لتوحيد الطاعة والاتباع، وليست أصلاً، ولا هي قسم مستقل من أقسام التوحيد، مهما شغب وبالغ أهل التفاهة والسطحية والغلو، من «جهلة الحنابلة»، المنتسبين، زوراً وبهتاناً، إلى «السلفية».
(د) عرفي اصطلاحي مجرد، وليس بـ «شرعي»، لعدم استقرائه لما جاءت به نصوص الكتاب والسنة من معاني ألفاظ «الإله»، «العبادة»، «الرب»، ... وغيرها!
(هـ) وغير مطابق لواقع الشرك، والعبادة، عند البشرية عامة، وعند العرب خاصة عند نزول القرآن. فهو بني على قسمة متخيلة قاصرة، لا على استقراء لواقع معقد من المعتقدات المتداخلة، التي تحتاج إلى سبر وتقسيم، بعد استقراء واسع، مع أن الكتاب العزيز قد أشار إليها، وناقش أكثرها، وكذلك السنة المطهرة!
ثالثاً: إشكالات عدة ظهرت في هذا الزمان، بعد زوال آخر دولة خلافة، يمكن أن تسمَّى إسلامية، ولو على وجه التساهل والتنزُّل، وتحول الدنيا كلها إلى دار كفر، حول حقيقة التوحيد، وأقسامه، وشموله لقضايا «الحاكمية»، و«الموالاة والمعاداة». هذه الإشكالات ترتبت على نقاط الضعف والقصور في القسمة التقليدية المذكورة أعلاه، وساهم فقهاء السلاطين، ورثة الأحبار والكهان، من قتلة الأنبياء، قاتلهم الله، في تضخيم الإشكالية، وتضليل العامة، بل وحتى الخاصة، خدمة لأسيادهم من أئمة الكفر والجور، الذين بدلوا الشرائع، وتولوا أعداء الله، وعادوا أولياء الله، وذلك لقاء ثمن بخس، دراهم معدودة، ودنيا فانية زائلة، فخانوا الأمانة، ونقضوا الميثاق: {وإذ أخذ الله ميثاق الذين أوتوا الكتاب لتبيننه للناس ولا تكتمونه، فنبذوم وراء ظهورهم، واشتروا به ثمناً قليلاً، فبئس ما يشترون}، (آل عمران؛ 3:187).
وآل سعود الذين هم في مقدمة مبدلي الشرائع، ومتولي الكفار، بل قد بزوا جميع إخوانهم من الحكام، الطواغيت الظلمة المتسلطين على رقاب المسلمين، في تمكين قوى الكفر من احتلال جزيرة العرب، قاعدة الإسلام، وحصار العراق المسلم، وإبادة أهله وإذلالهم، لهم الباع الطولى، والسابقة العظمى، مع أذنابهم من «المشايخ»، في هذا التضليل الكبير، والبهتان العظيم!
ونظام حكم آل سعود هؤلاء نظام شرك وكفر، بل هو مع ذلك، وفوق ذلك، نظام «شيطاني» منتن، نظام عصابة «مافيا» إجرامية قذرة، لم تكتف بنهب أموال المسلمين، و«الغلول» من بين المال العام على نحو لم يعرف له التاريخ مثيلاً، بل زادت جشعاً وسعاراً بتعاطى تجارة المخدرات والخمور والدعارة المنظمة، وتهريب السلاح، و«غسيل» الأموال.
لذلك فهم، أي آل سعود، حفاظاً على السلطة، وتضليلاً للجماهير، يتمسحون بـ«توحيد» مزوَّر، مشوه، مبتور، «ميِّت»، لا وجود له في واقع الحياة، يدور حول «الموتى»، والقباب، والأشجار، والأحجار، والرمال، والقبور. فهم في حقيقة الأمر قد قتلوا «التوحيد» وأدخلوه «القبر»، ثم جعلوا يطوفون حول هذا القبر يلهجون بالثناء على «الميت»، ويهزجون له بالتمجيد!
فحالهم كما بينه الإمام ابن القيم في «مدارج السالكين»: [إذا جاء الحق معارضاً في طريق رياستهم طحنوه، وداسوه بأرجلهم، فإن عجزوا عن ذلك دفعوه دفع الصائل، فإن عجزوا عن ذلك حبسوه في الطريق، وحادوا عنه إلى طريق أخرى، وهم مستعدون لدفعه حسب الإمكان، فإن لم يجدوا بداً: أعطوه السكة والخطبة، وعزلوه عن التصرف والحكم والتنفيذ. وإن جاء ناصراً لهم، وكان لهم: صالوا به وجالوا، وأتوا إليه مذعنين، لا لأنه الحق، بل لموافقته غرضهم وأهوائهم: {وإذا دعوا إلى الله ورسوله ليحكم بينهم إذا فريق منهم معرضون * وإن يكن لهم الحق يأتوا إليه مذعنين * أفي قلوبهم مرض؟! أم ارتابوا؟! أم يخافون أن يحيف الله عليهم ورسوله؟! بل أولئك هم الظالمون}]، انتهى كلام ابن القيم، رحمه الله. فياله من توصيف رائع لحالهم الخبيث!
وإن كنت في شك من ذلك، فاستمع إلى تصريحات مشايخهم، وتأمل في مسميات الأحزاب والجماعات المدافعة عنهم: «جمعية أهل السنة والحديث»، «أنصار السنة المحمدية»، «جنود الصحابة»، وعليك بكتبهم التي يوزعونها مجاناً: «طاعة الرحمن في طاعة السلطان»، «القطبية، هي الفتنة فاعرفوها!»، «الحاكمية، وفتنة التكفير»: {ألا في الفتنة سقطوا، وإن جهنم لمحيطة بالكافرين}!!
نسأل الله العظيم أن ينفع بهذه الرسالة، وأن يجعل أعمالنا كلها خالصة لوجهه الكريم، إنه على كل شيء قدير. وصلى الله، وسلم، وبارك، على عبده ورسوله محمد، وعلى آله الطيبين الطاهرين، وصحبه المخلصين المجاهدين، صلاة دائمة، وتسليما وتبريكاً كثيرًا الى يوم الدين، والحمد لله رب العالمين.
وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن سيدنا وإمامنا وقدوتنا وشفيعنا وحبيب قلوبنا محمداً عبده ورسوله، وصفيه وخليله، وخيرته من خلقه.
{يا أيها الذين ءامنُوا اتقوا الله حق تُقاتهِ، ولاتموتن إلا وأنتم مسلمون}، (آل عمران؛ 3:102).
{يا أيُهَا النَاسُ اتقُوا ربكم الذى خلقكم من نفسٍ واحدةٍ، وخلق منها زوجَهَا، وبث مِنهُمَا رجالاً كثيرًا وِنسَاءً، واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام، إن الله كان عليكم رقيبًا}، (النساء؛ 4:1) .
{يا أيها الذين ءامنوا اتقوا الله، وقولوا قولاً سديدًا * يُصلح لكم أعَمَاَلَكُم، ويَغفِر لكم ذُنُوبَكُم، ومن يُطِعِ الله وَرسُولَهُ فقد فَاز فوزًا عظيمًا}، (الأحزاب؛ 33:70).
إن خير الحديث كتاب الله، وخير الهدي هدي محمد، صلى الله عليه وعلى آله وسلم، هو الأسوة الحسنة، نعم الأسوة، ونعم القدوة. وشر الأمور محدثاتها، وكل محدثه بدعة، وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار.
أما بعد: فهذه رسالة مختصرة عن أصل الإسلام، وحقيقة التوحيد، وأدلته من القرآن الكريم، ومما ثبت في السنة النبوية الشريفة، سميناها: «كتاب التوحيد: أصل الإسلام، وحقيقة التوحيد».
وكان الدافع إلي كتابتها أمور منها:
أولاً: مشكلة قديمة حول تعريف «العبادة» وعلاقتها بمفهوم «الإله»، ترتب عليها الحكم، بغير وجه حق، على الكثير من أهل القبلة بالشرك، ومفارقة الإسلام، والخروج من الملة. وهو أمر كبير خطير، من الأصول والمهمات، التي تحتاج إلى البرهان القاطع، والحجة اليقينية البالغة، ولا يجوز أن يكون من الاجتهاديات أو الخلافيات!
ثانياً: اضطراب، وعدم انضباط القسمة التقليدية للتوحيد إلى: «توحيد الربوبية»، و«توحيد الألوهية»، و«توحيد الأسماء والصفات». هذا الإضطراب له علاقة جوهرية بالمشكلة السابقة، فضلاً عن أنه تقسيم ضعيف، غير مقنع، ولا منتج، لأنه:
(أ) تقسيم غير منضبط لتداخل الأقسام،
(ب) وغير جامع لخروج أركان مهمة للتوحيد منها، كتوحيد «الحاكمية»، وتوحيد «الحب والموالاة»، ولا يمكن إدخالها إلا بتكلف، وبطريقة مصطنعة.
(ج) وغير مانع لدخول ما ليس من أصول التوحيد فيها، كأكثر مباحث «الصفات»، التي هي فرع لتوحيد الطاعة والاتباع، وليست أصلاً، ولا هي قسم مستقل من أقسام التوحيد، مهما شغب وبالغ أهل التفاهة والسطحية والغلو، من «جهلة الحنابلة»، المنتسبين، زوراً وبهتاناً، إلى «السلفية».
(د) عرفي اصطلاحي مجرد، وليس بـ «شرعي»، لعدم استقرائه لما جاءت به نصوص الكتاب والسنة من معاني ألفاظ «الإله»، «العبادة»، «الرب»، ... وغيرها!
(هـ) وغير مطابق لواقع الشرك، والعبادة، عند البشرية عامة، وعند العرب خاصة عند نزول القرآن. فهو بني على قسمة متخيلة قاصرة، لا على استقراء لواقع معقد من المعتقدات المتداخلة، التي تحتاج إلى سبر وتقسيم، بعد استقراء واسع، مع أن الكتاب العزيز قد أشار إليها، وناقش أكثرها، وكذلك السنة المطهرة!
ثالثاً: إشكالات عدة ظهرت في هذا الزمان، بعد زوال آخر دولة خلافة، يمكن أن تسمَّى إسلامية، ولو على وجه التساهل والتنزُّل، وتحول الدنيا كلها إلى دار كفر، حول حقيقة التوحيد، وأقسامه، وشموله لقضايا «الحاكمية»، و«الموالاة والمعاداة». هذه الإشكالات ترتبت على نقاط الضعف والقصور في القسمة التقليدية المذكورة أعلاه، وساهم فقهاء السلاطين، ورثة الأحبار والكهان، من قتلة الأنبياء، قاتلهم الله، في تضخيم الإشكالية، وتضليل العامة، بل وحتى الخاصة، خدمة لأسيادهم من أئمة الكفر والجور، الذين بدلوا الشرائع، وتولوا أعداء الله، وعادوا أولياء الله، وذلك لقاء ثمن بخس، دراهم معدودة، ودنيا فانية زائلة، فخانوا الأمانة، ونقضوا الميثاق: {وإذ أخذ الله ميثاق الذين أوتوا الكتاب لتبيننه للناس ولا تكتمونه، فنبذوم وراء ظهورهم، واشتروا به ثمناً قليلاً، فبئس ما يشترون}، (آل عمران؛ 3:187).
وآل سعود الذين هم في مقدمة مبدلي الشرائع، ومتولي الكفار، بل قد بزوا جميع إخوانهم من الحكام، الطواغيت الظلمة المتسلطين على رقاب المسلمين، في تمكين قوى الكفر من احتلال جزيرة العرب، قاعدة الإسلام، وحصار العراق المسلم، وإبادة أهله وإذلالهم، لهم الباع الطولى، والسابقة العظمى، مع أذنابهم من «المشايخ»، في هذا التضليل الكبير، والبهتان العظيم!
ونظام حكم آل سعود هؤلاء نظام شرك وكفر، بل هو مع ذلك، وفوق ذلك، نظام «شيطاني» منتن، نظام عصابة «مافيا» إجرامية قذرة، لم تكتف بنهب أموال المسلمين، و«الغلول» من بين المال العام على نحو لم يعرف له التاريخ مثيلاً، بل زادت جشعاً وسعاراً بتعاطى تجارة المخدرات والخمور والدعارة المنظمة، وتهريب السلاح، و«غسيل» الأموال.
لذلك فهم، أي آل سعود، حفاظاً على السلطة، وتضليلاً للجماهير، يتمسحون بـ«توحيد» مزوَّر، مشوه، مبتور، «ميِّت»، لا وجود له في واقع الحياة، يدور حول «الموتى»، والقباب، والأشجار، والأحجار، والرمال، والقبور. فهم في حقيقة الأمر قد قتلوا «التوحيد» وأدخلوه «القبر»، ثم جعلوا يطوفون حول هذا القبر يلهجون بالثناء على «الميت»، ويهزجون له بالتمجيد!
فحالهم كما بينه الإمام ابن القيم في «مدارج السالكين»: [إذا جاء الحق معارضاً في طريق رياستهم طحنوه، وداسوه بأرجلهم، فإن عجزوا عن ذلك دفعوه دفع الصائل، فإن عجزوا عن ذلك حبسوه في الطريق، وحادوا عنه إلى طريق أخرى، وهم مستعدون لدفعه حسب الإمكان، فإن لم يجدوا بداً: أعطوه السكة والخطبة، وعزلوه عن التصرف والحكم والتنفيذ. وإن جاء ناصراً لهم، وكان لهم: صالوا به وجالوا، وأتوا إليه مذعنين، لا لأنه الحق، بل لموافقته غرضهم وأهوائهم: {وإذا دعوا إلى الله ورسوله ليحكم بينهم إذا فريق منهم معرضون * وإن يكن لهم الحق يأتوا إليه مذعنين * أفي قلوبهم مرض؟! أم ارتابوا؟! أم يخافون أن يحيف الله عليهم ورسوله؟! بل أولئك هم الظالمون}]، انتهى كلام ابن القيم، رحمه الله. فياله من توصيف رائع لحالهم الخبيث!
وإن كنت في شك من ذلك، فاستمع إلى تصريحات مشايخهم، وتأمل في مسميات الأحزاب والجماعات المدافعة عنهم: «جمعية أهل السنة والحديث»، «أنصار السنة المحمدية»، «جنود الصحابة»، وعليك بكتبهم التي يوزعونها مجاناً: «طاعة الرحمن في طاعة السلطان»، «القطبية، هي الفتنة فاعرفوها!»، «الحاكمية، وفتنة التكفير»: {ألا في الفتنة سقطوا، وإن جهنم لمحيطة بالكافرين}!!
نسأل الله العظيم أن ينفع بهذه الرسالة، وأن يجعل أعمالنا كلها خالصة لوجهه الكريم، إنه على كل شيء قدير. وصلى الله، وسلم، وبارك، على عبده ورسوله محمد، وعلى آله الطيبين الطاهرين، وصحبه المخلصين المجاهدين، صلاة دائمة، وتسليما وتبريكاً كثيرًا الى يوم الدين، والحمد لله رب العالمين.
hukum kitman
إِنّ الّذِينَ يَكْتُمُونَ مَآ أَنزَلْنَا مِنَ الْبَيّنَاتِ وَالْهُدَىَ مِن بَعْدِ مَا بَيّنّاهُ لِلنّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَـَئِكَ يَلعَنُهُمُ اللّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاّعِنُونَ إِلاّ الّذِينَ تَابُواْ وَأَصْلَحُواْ وَبَيّنُواْ فَأُوْلَـئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التّوّابُ الرّحِيمُ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang diturunkan dari keterangan dan petunjuk setelah Kami terangkan kepada manusia dalam Al-Kitab mereka itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah, dan mereka dilaknat oleh para pelaknat. Kecuali orang-orang yang bertaubat dan mengadakan perbaikan dan menjelaskan, maka mereka itulah yang Aku terima taubat mereka dan adalah Aku Maha Menerima Taubat dan Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 159-160)
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang diturunkan dari keterangan dan petunjuk setelah Kami terangkan kepada manusia dalam Al-Kitab mereka itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah, dan mereka dilaknat oleh para pelaknat. Kecuali orang-orang yang bertaubat dan mengadakan perbaikan dan menjelaskan, maka mereka itulah yang Aku terima taubat mereka dan adalah Aku Maha Menerima Taubat dan Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 159-160)
Langganan:
Postingan (Atom)