Selasa, 13 Juli 2010

Musim hujan Indonesia

Pendahuluan

INDONESIA adalah negara yang bukan saja luas, tetapi juga berada di (dilewati) garis ekuator. Ini membawa dampak yang besar bagi variabilitas iklim dan cuaca. Salah satu aspeknya adalah penentuan musim hujan atau musim kemarau.

Selama ini kita selalu berpatokan bahwa musim hujan adalah ketika matahari ada di belahan bumi selatan (Oktober-April) sedangkan musim kemarau adalah ketika matahari ada di sebelah utara ekuator (April-Oktober).

Bahkan, seorang ahli dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) mengatakan bahwa pada bulan Desember seluruh daerah di Indonesia sudah memasuki musim penghujan (KCM, 2/10/2004).

Apakah benar bahwa musim hujan di Indonesia itu bisa digeneralisasi begitu saja? Sebelum menjawab ini penulis ingin sedikit mengulas fenomena sosial yang berkaitan dengan hal ini. Sebagai negara yang sangat besar, selama ini Indonesia banyak berkonsentrasi ke Pulau Jawa. Ketika anak kecil disuruh menggambar pemandangan desa maka hampir pasti yang digambar adalah gunung, jalan, sungai, sawah, dan lain-lain yang menggambarkan suasana desa-desa di daerah subur yang kebanyakan berada di pulau Jawa. Padahal, sangat banyak desa-desa tandus yang ada di luar Jawa tidak memiliki sawah dan sungai. Di era otonomi daerah saat ini, sudah waktunya kita tidak lagi mengonotasikan Indonesia sebagai Jawa saja.

Lalu apa hubungannya dengan generalisasi musim hujan? Dalam meteorologi, ketika matahari ada di sebelah selatan ekuator, maka wilayah di belahan bumi selatan akan bertekanan rendah. Tekanan yang rendah menyebabkan masuknya masa udara yang merupakan sumber konveksi.

Maka pada saat itu bisa dikatakan musim hujan. Jelaslah bahwa musim hujan selama Oktober-April itu pada awalnya adalah musim hujan di Pulau Jawa. Bagi beberapa wilayah yang berada di sebelah selatan ekuator, memang ketentuan umum ini masih bisa berlaku.

Akan tetapi, tidak untuk daerah-daerah lain yang berada di sekitar ekuator atau bahkan di sebelah utara ekuator. Berita banjir di Bandung, Jakarta, Padang, dan beberapa daerah lain pada tanggal 20 April 2004 yang lalu mungkin saja bisa dengan mudah dimaklumi.

Selain kita tahu bahwa tata guna lahan kita yang tidak baik, peristiwa banjir itu terjadi masih pada musim hujan (Jawa). Tetapi berita banjir di Banjarmasin pada saat musim panas (Kompas, 26 Juli 2004) barangkali menjadi pertanyaan yang cukup menggelitik di benak sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun, mestinya tidak demikian bagi para peneliti tentang hujan.

Pembagian wilayah iklim

Secara mendasar, ditinjau dari perubahan posisi matahari terhadap ekuator (walaupun sebenarnya yang bergerak adalah bumi kita) musim hujan dan musim kemarau di Indonesia bisa dibagi ke dalam tiga wilayah, yaitu Indonesia bagian selatan, tengah (sekitar ekuator), dan bagian utara. Seperti disinggung sebelumnya bahwa musim hujan terjadi pada saat (sekali lagi secara umum) matahari berada pada titik terdekat di atas sebuah wilayah.

Pembagian wilayah iklim di Indonesia pernah dilakukan, dan menghasilkan beberapa wilayah iklim yang berbeda (Murakami, 1994). Berdasarkan data bulanan tahun 1961-1993, Aldrian and Susanto (2003) juga melakukan pembagian wilayah iklim Indonesia menjadi tiga bagian.

Wilayah A meliputi Indonesia bagian selatan dari Sumatera Selatan hingga Pulau Timor, Kalimantan, Sulawesi, dan sebagian Irian Jaya. Wilayah B meliputi Indonesia bagian barat laut dari Sumatera Utara sampai bagian tenggara. Wilayah C meliputi Maluku dan Sulawesi Utara. Setiap wilayah mempunyai rentang musim hujan dan kemarau yang berbeda-beda.

Wilayah A, misalnya, seperti yang selama ini diketahui khalayak, mempunyai puncak musim hujan bulan Januari (yang kita kenal dengan "hujan sehari-hari") dan puncak musim kemarau bulan Agustus. Wilayah B mempunyai dua puncak musim hujan, yaitu bulan April dan November, dan puncak musim kemarau Februari dan Juli. Sedangkan wilayah C mempunyai puncak musim hujan bulan Juni-Juli dan puncak musim kemarau November atau Februari.

Jelas sekali bahwa wilayah A yang kebanyakan berada di Indonesia bagian selatan berkebalikan dengan wilayah C yang meliputi Maluku dan Sulawesi Utara. Betapa sedihnya jika warga di wilayah C harus mengatakan musim hujan di Indonesia adalah bulan Oktober-April, sementara justru mereka sedang mengalami kekeringan. Kita menyadari bahwa jumlah penduduk di wilayah B dan C masih lebih sedikit daripada di wilayah A.

Akan tetapi, kita tidak bisa menggeneralisasi begitu saja karena bagaimanapun juga akan sangat berbahaya jika kita mengambil kebijakan yang salah akibat kesalahan informasi.

Secara teoretis, tanpa memandang sifat fisik (misalnya topografi, dan lain-lain) wilayah yang ada di Indonesia, maka apa yang dihasilkan oleh Aldrian dan Susanto di atas mewakili wilayah Indonesia, yaitu wilayah iklim A untuk Indonesia bagian selatan, B untuk bagian tengah, dan C untuk bagian utara. Dari sini saja kita sudah tidak bisa lagi menjawab pertanyaan kapan musim hujan di Indonesia. Bahkan, sudah semestinya tidak ada lagi pertanyaan kapan musim hujan di Indonesia.

Osilasi Madden Julian

Kalau kita mau lebih detail meneliti curah hujan musiman, maka sebenarnya simpangannya sangat besar. Dalam banyak kasus, curah hujan terukur pada bulan tertentu bisa mencapai tiga kali lipat curah hujan historisnya. Hal ini terjadi karena sebenarnya di daerah tropis seperti Indonesia ada faktor lain selain musim, yaitu osilasi Madden Julian (MJO: Madden Julian oscillation).

MJO adalah sebuah osilasi yang berperiode 40-50 hari, yang dalam beberapa kasus bisa melebar menjadi 30-60 hari (Madden and Julian, 1994). Gugus awan konveksi diproduksi di atas Sumudra Hindia (sebelah barat Indonesia) kemudian bergerak ke arah timur di sepanjang ekuator untuk menempuh satu siklus putar dengan periode 40-50 hari (Matthews, 200).

Dalam perjalanannya ke arah timur, MJO dipengaruhi oleh posisi Matahari relatif terhadap garis ekuator. Secara umum dapat dikatakan bahwa ketika Matahari berada di atas ekuator MJO bergerak lurus ke arah timur.

Ketika Matahari berada di sebelah selatan garis ekuator, maka perjalanan MJO agak bergeser ke arah selatan ekuator, sehingga dikenal sebagai penjalaran selatan-timur (south-eastern propagation). Demikian juga ketika matahari berada di sebelah utara ekuator, maka perjalanan MJO agak bergeser ke arah utara ekuator, sehingga dikenal sebagai penjalaran utara-timur (north-eastern propagation) (Wang and Rui, 1990).

Dalam kenyataannya, penjalaran ke arah timur ini sangat dipengaruhi oleh topografi Indonesia sebagai benua maritim (Seto et al. 2004).

Periode MJO yang jauh lebih pendek daripada periode musim mengakibatkan adanya variabilitas di dalam musim hujan maupun musim kemarau. Ini bisa berakibat sangat keringnya hari-hari di musim kemarau dan atau kemungkinan terjadinya hujan pada musim kemarau di suatu wilayah.

Begitu juga MJO bisa berinterferensi dengan musim hujan sehingga dapat mengakibatkan banjir yang dahsyat ataupun mengakibatkan berkurangnya hujan pada hari-hari di musim hujan. MJO disebut juga sebagai variasi intra musim (ISV: intra-seasonal variation). Sampai saat ini MJO dipercaya sebagai mode paling dominan di daerah tropis.

Luasnya wilayah Indonesia harus dibarengi pemahaman kebhinekaan yang baik. Kebhinekaan yang tidak hanya pada aspek sosial dan budaya tetapi juga aspek ilmu pengetahuan dan teknologi .

oleh : Tri Handoko Seto Peneliti BPP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar